Sunday, December 10, 2017

Saya & Pariaman Triathlon 2017

*) Bacaan untuk para virgin Triathlon (2)
Kawan,
Setelah menjadi mualaf triathlon di Balitri, sebetulnya saya belum pede-pede amat untuk kembali ke race triathlon. Namun, atas diskusi dengan teman-teman penggoda iman triathlon seperti Binbin, Om Farhan, Kapten Renato dan apalagi coach Idir ahirnya jari saya tergerak untuk mengklik form pendaftaran Pariaman Triathlon.
Saat isi form pendaftaran sebetulnya pikiran saya dipenuhi bayangan manis mencapai garis finish, dimana disitulah saya merasa gagah, optimis dan beriman, seperti rocker idola kenamaan yang selalu menguasai tangga lagu Album Minggu Kita : Hari Moekti. Namun setelah selesai saya mendaftar pariaman triathlon tersebut, saya liat kalender ternyata waktu tinggal 2,5 minggu lagi menuju race. Tiba-tiba saya dirundung kombinasi perasaan deg-degan, khawatir, antusias tapi bimbang, mirip situasi saat dapat bisikan : “mas, aku telat..”.
Dua minggu sebelum race, saya ikut Triathlon Relay (saya kebagian bike leg) dan juga Borobudur Marathon (HM), namun saya tetap merasa butuh latihan simulasi yang menggabungkan semua renang-sepeda-lari, terutama renang, ya renang. Untuk lari saya ga jelek-jelek Amat lah, toh kalaupun cape bisa jalan. Sepeda ? saya merupakan golongan MATADOR (MAnggih TAnjakan, DOrong..!) jadi amanlah untuk bertahan hidup di bike leg. Tapi untuk berenang apalagi di laut, saya butuh seseorang yang bisa memberikan arahan sekaligus menenangkan batin. Oleh karena itu saya temui dan ajak latihan mas Willy Pratama, pria penuh kata bijak yang dalam darahnya tidak pernah mengalir rasa iba terhadap pemula triathlon seperti saya, sehingga saya dapat ditempa dengan baik. Lalu seperti biasa kami bersimulasi triathlon di Padepokan Voli (aneh bukan?) di Sentoel. tanpa latihan Voli tentunya.
Pada latihan itu mas Willy ditemani Mas Toni, Ironman yang sudah makan asam garam race triathlon local&internasional, yang memberikan masukan tentang kemampuan berenang saya. Kesimpulan berenang saya dianggap masih belum baik, tangan kiri masih kaku dan tidak baik untuk jarak jauh. Alih-alih mendapat ketenangan batin, latihan ini malah membuat saya butuh diruqiah, karena tambah takut. Betapa tidak, saat Balitri saya hanya menyelesaikan 500m swim leg, tapi di Pariaman ini saya harus menyelesaikan 750m. Lalu teman-teman yang ikut pariaman juga beropini bahwa Pariaman ini kategori lautnya samudra, ombaknya besar arusnya kencang, serta pantainya dalam membuat kaki gak bisa napak tidak seperti di pantai sanur. Lalu rasa takut saya makin mendapat tempat dan terus mengumpulkan pasukan. dan Hari Moekti pun berubah menjadi Daus Mini.
Biasanya untuk mengalihkan ketakutan dan membunuh rasa pesimis, maka saya akan baca buku-buku yang perjuangan yang dapat membangkitkan motivasi & optimism. Unutk kali ini saya baca buku “Untuk Negeriku” (Autobiografi M. Hatta), “Ku Antar Kau ke Gerbang” tulisan tentang Inggit Ganarsih karangan Ramadhan KH. dan terakhir “Budidaya Itik di lahan sempit” (Majalah trubus). Sedangkan latihan renang ? saya alfa terus hingga saatnya race tiba.
Tibalah hari race, rasa takut saya belum juga hilang, bahkan melihat ombak dan deburan sura pantai, hati makin ciut ga karuan. Lalu priit.. bendera start dikibarkan.
Pada swim leg 250 meter awal menuju buoy pertama, ombak pantai di pariaman ini terlihat cukup tinggi sehingga membuat hubungan para peserta triathlon dengan laut bagai Barry prima lawan Advent bangun dalam film “Darah Perjaka” : saling serang, saling berbalas jurus dan menyelamatkan diri masing-masing. Lalu sosok yang manakah saya dalam adegan ini? Advent bangun yang jahat namun kuat? bukan. Barry prima sosok pahlawan yang punya banyak jurus ilmu? bukan.
Saya adalah peran Mak Uwo : Pemeran pembantu, sosok lemah, sabar dan penuh sopan santun. Saya terima saja apa adanya saat ombak menghantam badan, tidak berusaha untuk berenang gaya apapun, toh pantai masih dalam jangkauan tinggi badan saya untuk berjalan. Saya mencoba mempraktekan wejangan Coach Idir untuk menghadapi ombak tinggi ini : hadapi serelax mugkin, tidak terburu-buru dan tidak lupa berdoa. Relaks dan tidak terburu-buru ini lah yang menjadi kunci saya dalam bersopan santun terhadap ombak. Saya ikhlaskan peserta lain terbirit-birit lari dan berenang menerjang ombak, sedangkan saya berjalan pelan-pelan sambil tak henti berdoa. Doa-doa terpanjatkan mulai dari Doa selamat dunia akhirat, doa nabi yunus saat di perut ikan paus dan tidak ketinggalan doa untuk istri agar segera disadarkan untuk mengembalikan ATM.
Barulah setelah kedalaman laut diluar jangkuan tinggi badan saya, saya pelan-pelan berenang dengan gaya andalan wajib yaitu gaya anjing laut. Sedangkan gaya katak masih menjadi sesuatu yang sunah, sesekali saya kerjakan. Gaya bebas ? lupakan, ini masih makruh buat saya dalam menggapai buoy yang pertama. Saya khawatir dengan gaya bebas tenaga saya habis duluan.
Pada 250 meter kedua saya hanya berusaha sekuat tenaga agar mencapai buoy kedua, terpujilah orang yang memasang tali pada lomba ini, saya sesekali berpegangan pada tali untuk tetap menyelamatkan nafas dan terutama mengusir rasa minder terhadap luasnya lautan. Barulah di sini saya sadar, bahwa penyanyi dan pencipta lagu dangdut manapun yang selalu bilang “luasnya samudra kan kusebrangi..” adalah tipuan gombal murahan. Saya doakan suatu hari nanti mereka ikut race triathlon agar mereka tahu berenang 750m di lautan itu lebih susah dari sekedar goyang drible trio macan tiga hari tiga malam.
Setelah mencapai buoy yang kedua, tibalah saya pada 250m yang terakhir. Pada fase ini hubungan saya dan laut lambat laun seperti duet Tri Utami dan Uthalikumahua : damai, penuh harmoni dan saling menolong. Walau berenang tetap belok-belok tidak bisa lurus sesuai rencana kerja, namun dorongan ombak ke pantai membantu saya untuk gagah berani mempraktekan semua gaya berenang yang saya pelajari. Akhirnya lolos juga saya pada hadangan pertama ini dengan penuh rasa bangga, dada membusung, gagah berani, namun tetap menjalankan ajaran orde baru : seimbang antara penguasaan iptek dan imtaq (iman dan taqwa).
Setelah saya cek ternyata saya adalah 4 orang terakhir yang keluar dari pantai bersama Mba Diana Sevi, Kapten (pilot) renato dan Pramugara idola para pria tomboy : Michael Butar-butar. Peserta lain ? sudah jauh di depan.
Masuk bike leg, target saya mulai ambisius yaitu mengejar ketertinggalan dari peserta lain, terutama mentor saya yang sudah jauh di depan menyelesaikan swim leg yaitu Om Farhan. Om-om ganteng yang memilih cunihin sebagai jalan hidupnya*)
*)Atas inspirasi cunihin ini, saya-coach Idir-om Farhan membentuk Trio The Cunihin. Target utama dan target satu-satunya cunihin kami adalah istri kami masing-masing, dengan visi mulia kami bagi kaum pria Indonesia : mempertahankan keberadaan ATM tetap ditangan suami.
Pengalaman saya dikalahkan di bike leg secara telak di Balitri, dan pengalaman baik saya mengalahkan om Farhan saat triathlon relay di Spring, membuat bike leg di pariaman triathlon ini sebetulnya layak dinanti untuk dicari mana yang lebih unggul seperti pertarungan antara Mcgregor vs Mayweather, McDoohan Vs Max Biaggi atau Hamdan ATT vs Meggi Z.
Namun apa dinyana, pemandangan indah Pariaman di jalur bike leg ini melupakan ambisi saya. Saya terpana pemandangan indah Pariaman.
Ingat lyric lagu anak “…Sawah hijau terbentang, bagai permadani di kaki langit..Gunung menjulang, berpayung awan ..oh indah pemandangan “ lirik lagu Memandang Alam Ibu Sud ini jelas adanya di Pariaman. Pemandangan ini istimewa, bahkan jika dibanding dengan kota Bandung-kota kelahiran saya-, Pariaman ini lebih layak untuk disematkan predikat BERHIBER –BERsih, HIjau, BERsawah indah-. Jalan pun mendatar, mulus dan tanpa bolong-bolong layaknya kulit wajah artis Ruben Onsu.
Saya sadar betul di bike leg saya disusul oleh banyak pembalap kelas OD (Olympic distance), namun tetap saya biarkan. Saya lebih memilih menikmati pemandangan indah ini. Walaupun saya kejar, perbandingan kecepatan mereka dengan saya juga seperti perbandingan kecepatan kenaikan pendapatan saya dengan kecepatan kenaikan harga tanah di pondok indah. Ga seimbang dan jauh panggang dari api.
Alhasil bike leg ini gagal memberikan prestasi buat saya untuk mengalahkan pesaing terdekat saya, om farhan. Catatan waktu kami identik 42 menit.
Masuk run leg, saya tidak menghabiskan waktu di transisi untuk hal-hal gak penting seperti balas whatssap istri “lagi dimana, lagi ngapain”, baca-baca brosur Meikarta atau senam SKJ 88. Saya hanya berganti sepatu sepeda ke sepatu lari, ganti topi, makan sepotong soyjoy dan suplemen herbal Fituno (camkan, ini iklan). Lalu go..!, saya lari mengejar ketertinggalan di swim dan bike leg. Walau catatan lari saya masih kalah jauh dari manusia-manusia keturunan kijang istana Bogor, seperti Yth. Om Joni, trio SNP (Tirfan-Mba Narita-Riyo), apalagi Coach Idir, namun saya dapat menyelesaikan run leg 5K dalam 29 menit dan berhasil menyusul Om Farhan di km kedua. Atas pencapaian ini, rasanya saya layak diberikan penghargaan oleh sesepuh Ikatan Remaja Mesjid Al-Muawanah, Jalan Sersan Sodik-Bandung, tempat saya menyelesaikan pelajaran Iqro 1 sampai Iqro 3.
Teman, percayalah. Bertriathlon bukan saja membuat kita semakin sehat, namun solusi cepat untuk menghafalkan doa-doa sekaligus mendekatkan diri pada Ilahi. Latihan rajin dan disiplin adalah kunci agar kita bisa finish dengan bahagia, tanpa cedera dan tetap bertaqwa.
__Bersambung__
RGI. 101217. Cibubur.

3 comments:

ChannelnyaAdaApaAjah said...

Assalamualaikum...

Wahai Kang Izal,
Terpujilah para suami yang memperjuangkan kembalinya ATM ke tangan kita lagi...

Yeaaaaaa....
#LongliveCunihin

BR
Willy Au Au

... said...

Selamat ya,, atm nya sudah berhasil d kembalikan dengan hormat ke tangan suami.

Ghani said...

Mantap surantap...jadi weh saya ngiringan triathlon oge