Friday, December 16, 2011

Ironi

Kawan, jika ada suatu kegetiran yang cukup beradab mungkin itulah yang saya definisikan sebagai ironi. Iya ironi. Ironi kadang menyakitkan atau bahkan menghibur. Dan jika dari sekian banyak kawan saya yang bisa membuat tertawa getir ironis adalah Bambang DJ, biasa dipanggil Bembi, Bengbeng atau DJ.

Seorang kawan yang saya kenal 5 tahun lalu ketika kami (berdelapan orang) masuk perusahaan dalam program MT (management trainee) bersama-sama. Bambang muncul dengan kejutan, ketika yang lain dianggap favorit karena datang sebagai alumnus kampus yang dianggap ternama di negeri ini, dia memperkenalkan diri dari kampus yang kami harus bertanya 2 kali untuk mempertegas pengucapannya atau khawatir kami sedang mengalami gangguan pendengaran, dan setelah itu kami harus googling untuk memastikan bahwa kampus itu benar-benar ada dan jelas kami getir melihat bukti bahwa kampus itu benar-benar ada. Tapi waktu kedepan merubah prediksi awal ini. Inilah ironi yang pertama. Tapi maap kisah sukses Bambang ini tak sudi saya ceritakan.

Sama seperti halnya saya, Bambang juga adalah seorang farmasis. Tapi jika ada 7 unit Bidang Ilmu yang dulu berkembang di farmasi, Bambang adalah bidang ilmu yang ke delapan, yaitu Farmasi Militer. Farmasi Militer yang Bambang pahami ini bukan seperti halnya LAFI-AD atau LAFI-AL yang merupakan unit khusus farmasi untuk memproduksi kebutuhan intern angkatan bersenjatanya masing-masing. Tapi Bambang adalah seorang farmasi yang mendalami persenjataan, angkatan bersenjata, pertahanan, keamanan termasuk siskamling didalamnya.

Dia lebih menguasai spesifikasi AK dan Boeing daripada sediaan suppositoria. Mekanisme flintlock pada senjata lebih dia kagumi daripada metode granulasi basah pembuatan tablet. Jangan Tanya mengenai standard dan syarat CPOB, karena Bambang ini lebih menguasai syarat-sayarat seorang sipil untuk masuk jadi Bintara, Tamtama atau bahkan kamra.

Bambang tidak pernah terobsesi foto bareng artis, selebritis atau atlet terkenal, dia akan lebih berseri-seri jika berfoto dengan propam Istana. Bahkan jikalau iring-iringan pejabat membelah jalan, Bambang sering dalam kondisi panic ingin berfoto. “Mau difotoin Beng ?” Tanya saya, “ Iya Kang”, Jawab Bambang penuh harap tapi grogi. “Sama Presiden?” sambung saya, “Engga Kang”, bambang Mantap, “Sama paspampres !”.

Lebih tepatnya Bambang adalah farmasis yang awalnya menggantungkan cita-citanya menjadi seorang militer tapi gagal merenggutnya. Dan mungkin seperti halnya saya, dalam perjalanannya dia ikut arus dalam trend pria cacat cita-cita ditahun 2000an yaitu menjadi seorang farmasis. Kami terjebak dalam sebuah pepetah lama : kejarlah cita-citamu sekuat tenaga, jika tidak terkejar usahakan nebeng teman. Iya, itulah ironi yang kedua.

Menurutnya, ada 3 Bambang yang akan dikenang bangsa ini kedepan, yaitu Bambang Yudoyono dan Bambang Pamungkas dan dirinya. Jika SBY sedang berpidato, Bambang akan mendehem lalu berdelik sombong kepada yang lain bahwa ini adalah Bambang generasi pertama yang membanggakan. Jika Bambang Pamungkas bertanding apalagi mencetak gol, Bambang DJ pasti akan mendadak membetulkan kerah baju dan lalu mendongak, bahwa inilah Bambang generasi kedua yang hebat, seolah ruh dialah sebetulnya yang sedang nyasar berada di dalam diri Bambang Pamungkas.

Inilah ironi yang ketiga. SBY dan BP adalah cocok antara output dengan tekstur. SBY adalah seorang Jendral militer, berwibawa, seorang Presiden dengan tekstur berbodi tegap, gagah dan kelimis. BP adalah pesepakbola sohor, kapten, yang saat ini adalah top scorer timnas, dengan tekstur bodi yang walaupun tidak setinggi SBY tapi sangat atletis dan lincah bergerak. Dua sosok beda profesi dengan tekstur yang meyakinkan untuk diprofesinya masing-masing. Sedangkan Bambang yang ketiga adalah farmasis obsesif militer yang teksturnya 44-36-striker : nomor celana-lingkar dada-bodi striker seperti Maradonna atau Lionel Messi.

Bukankah dengan bodi Lionel Messi tapi nomor celana 44 adalah se buah ironi, apalagi obsesinya militer. Bambang Lebih mirip maradona, bukan ketika mengantar Argentina juara Piala Dunia 1986, tapi tahun 2000 ketika masuk rehabilitasi narkoba.

Saya bersyukur Bambang DJ ini dilahirkan ditahun kala Presiden Soeharto masih berkuasa dan Indonesia sudah merdeka. Saya tidak terbayang nasib Bangsa Indonesia sekarang jika Bambang dilahirkan pada jaman pra kemerdekan lalu menggantikan peran Jendral Soedirman saat itu, mungkin pasukan pengangkut tandunya akan lebih banyak daripada pasukan yang bergerilya. Sulit sekali kita merebut tahta kemerdekaan sepertinya.

Ironi yang keempat, kawan saya ini selalu membanggakan diri bahwa Surakarta *kota kelahirannya* adalah kota terbesar kedua setelah Jakarta ini -khusus tema ini Bambang akan membela habis-habisan seperti mahasiswa kurang data dibantai dalam sidang sarjana.

Namun, walau Bambang selalu menjadi tempat sampah cercaan dan hinaan saya dan kawan-kawan, dia adalah kawan yang tak kenal pamrih. Inilah puncak ironi yang sesungguhnya. Jika saat makan bersama, dialah orang yang akan membayarkan duluan ketika kita pura-pura berhiruk pikuk membuka dompet masing-masing bahkan setelah kita terbahak-bahak bahagia menghinanya di meja makan. Mobil bambang pula lah yang menjadi favorit kami untuk meminjam kemana-mana, tak pernah satu kali pun Bambang akan menolak meminjamkan bahkan setelah kami mengejek-ejek sekalipun. Dialah yang akan setia menemani sampai ahir kerja selesai untuk mengantarkan anak buahnya satu-satu.

Ironisme ini yang membuat Bambang selalu hadir menghibur di tengah saya yang kesusahan. Jika sedang susah lalu ingatlah Bambang, maka akan lah segera muncul rasa syukur, walau sambil sedikit mengulum senyum.

*bersambung*

Thursday, December 01, 2011

kalah lagi

Ada dua hal yang mungkin sulit saya syukuri saat ini, yaitu (i) Menjadi seorang farmasis dan (ii) Kekalahan timnas u-23 di SEA GAMES atas Malaysia.

Kawan, dua hari berlalu sudah kekalahan timnas di final SEA GAMES, tapi saya masih saja susah menutupi kekecewaan ini. Saya tidak bisa berbohong perasaan atas ini, sedih dan kecewa, apalagi kalau lihat berita ulasan pertandingan atau forum online yang melibatkan orang malay berkomentar. Pedih rasanya. Kenapa harus kami yang menanggung malu padahal timnas yang berbuat, ini sih seperti siapa yang menghamili siapa yang bertanggungjawab. Sepakbola memang kejam, lebih kejam dari guru BP atau dosen pembimbing tugas akhir. Sepakbola memang tidak adil, bak antara besar penghasilan guru dan calo anggaran.

Pulang dari GBK saya tertunduk lesu, menyesali kekalahan (dan juga lapar). Berjuta ‘mengapa’ dan ‘andai saja’ berjejal di kepala ini bagaikan penumpang kereta ekonomi Serpong-Tanah Abang. Yang paling menyesakkan adalah mengapa kita mesti kalah dari Malaysia. Padahal urusan penyiksaan TKW dan claim seni budaya kurang apa kita dibuat geram, merebut daerah perbatasan, menyayat Manohara hingga dikawininya Bunga Citra Lestari pun kita ga bisa berbuat banyak. Padahal dulu Malaya adalah jajahan Majapahit dan juga Sriwijaya, dulu mereka berguru sama Indonesia dari urusan keberagaman, politik, stabilitas nasional hingga Titihan Muhibah. Mereka hanya punya kuala lumpur, sedangkan kita lumpur beneran segede lapindo.
Mereka sebagian besar daratan kita kepulauan, kita punya pulau komodo mereka hanya ngaku-ngaku, Upin-Ipin juga ngikut-ngikut gaya pa Ogahnya si Unyil, Sheila Madjid nya ga semuda Sheila Marcella. Mereka hanya punya Twin Tower, tapi tidak seheroic Monas, tugu proklamasi atau VCD Bandung lautan Asmara. Pokoknya terlalu banyak alasan untuk lebih berbangga menjadi orang Indonesia karena kita daripada Malaysia.

Kekesalan terlebih lagi bukan karena permainan Malay yang sebagus Uruguay atau AC Milan bisa habis menghajar tim kita 7-0 atau 5-1, mereka cuman bisa menang drama adu penalty. Padahal kalau urusan drama kita jagonya, mulai dari drama KPK Vs Susno Duaji, Gayus & Anggodo, Century Vs Sri Mulyani, Bakri Vs Panigoro, Nazaruddin VS demokrat serta drama sinetron hingga seri Tersanjung 7.
Ah, andai saja Ferdinan lebih kencang tendagannya, andai saja Stevie ga sakit lambung, andai saja Wanggai ga cedera, andai saja Diego ga lebih ganteng dari saya, mungkin ceritanya akan lain, mungkin Chealsi Olivia juga akan menyesal.

Tapi kawan, meratapi kekesalan dan kekecewaan ini mungkin tidak akan menyelesaikan permasalahan, seperti halnya kita mengadukan masalah macetnya Jakarta ke Mahkamah Konstitusi. Anggap lah sudah nasib. Nasib seorang Indonesia yang masih harus bersabar menunggu gelar juara sepakbola yang sudah 20 tahun kita tidak rasakan, nasib seorang Indonesia yang kena macet tiap hari, yang kementriannya korup korup, yang politisinya maling maling, yang tidak tahu akhir dari Nazaruddin, yang masih harus menunggu 2 tahun lagi untuk punya presiden baru, yang tidak tahu kenapa Paramita Rusadi bercerai dengan Gunawan.

Sudahlah mudah-mudahan ini pelajaran berharga bagi kita semua terutama PSSI dan Arifin Panigoro agar tidak sombong dan selalu rajin menabung. Anyway, terimakasih atas perjuangan rekan timnas, kalian sangat membanggakan. Di umur U-23 tidak banyak orang yang bisa membuat bangsa ini berdegup, berteriak, dan membuat gemetar seisi ruang keluarga, pos hansip RW, kelurahan, panti pijat hingga Cikeas.
Saya berdoa mudah-mudahan kalian tidak berhenti di sini, masih ada piala asia, AFF, olimpiade dan piala dunia. Semoga kalian hidup bahagia, menikmati semua latihan dan pertandingan, jadi bintang iklan, artis infotainment, anggota DPR, wakil menteri, ketua KPK atau penasehat presiden. Tapi percayalah menjadi pesepakbola lebih bisa membahagiakan dan membanggakan masyarakat daripada menjadi presiden atau anaknya presiden. Satu titip yang kalian harus hindari, yaitu menjadi seorang farmasis, nanti saya kasih tau.