Thursday, November 28, 2019

SAYA DAN PALEMBANG TRI 2019

*) Bacaan bagi para virgin tri (Bagian 5)
Kawan,
Jakabaring Pelambang adalah venue dimana Asian Games 2018 cabang Triathlon diperlombakan. Oleh karenanya, untuk saya yang alumni SD INPRES ini, keinginan untuk turut serta berlomba di Palembang Triathlon bagaikan Adam Jordan mendambakan Lulu Tobing di sinetron Tersanjung 3 : menggebu-gebu & terburu nafsu.
Kawan, race di Palembang ini istimewa. Pada race triathlon yang sudah-sudah, saya biasanya tidak memiliki beban apa-apa kecuali mengalahkan diri dari rasa takut menghadapi laut, berjibaku melawan lelah ketika bersepeda dan lari, berjuang dari ketabahan beresin tagihan kartu kredit biaya race&akomodasi, serta tetap membangun biduk rumah tangga tetap harmonis sehari setelahnya.
Sedangkan kali ini saya dihadapkan pada kompetisi internal yang tidak berfaedah, persaingan yang tidak memberikan keuntungan apa-apa dan berlomba dalam kesia-siaan. Ya, saya akan bersaing dalam sebuah kejuaraan virtual yang menjurus ghoib. Pesertanya ? 4 orang. Itupun 1 mengundurkan diri.
Di antara 400 peserta Palembang triathlon lainnya, saya berkompetisi melawan teman-teman seangkatan kuliah yang akrab namun kurang harmonis, yaitu sebagai berikut :
1. Maryandi. Pemegang rekor lari 400m putra olimpiade ITB angkatan 99. Maryandi lulus cenderung cumlaude dari Planologi ITB. Kemampuan dribbling bolanya di atas rata-rata pemain bulutangkis, kekuatan fisiknya kombinasi Rully Nere dan Jeremy Teti. Prestasi terbesar dan layak dikenang dalam hidupnya adalah berhasil meyakinkan istri untuk dibelikan sepeda TT dan kemudian rumah tangganya tetap akur (setidaknya begitu yang diperlihatkan di media social).
2. Adi Mulyadi. lulus meyakinkan dari jurusan Kimia ITB. Sangat terobsesi mirip Syahrul Gunawan. Fokus mendalami triathlon untuk menebus masa kelam hidupnya yaitu tidak lulus casting “Jin & Jun”. Kemampuan Adi bertriathlon didukung oleh penguasaan tentang “10 dasar kesalahan berenang tingkat pemula&pramuka siaga”. Pengetahuan lugas tentang teknik efektif bersepeda, serta hafalan doa-doa manasik haji adalah kunci utama kepercayaan dirinya.
3.Lawan terakhir saya dan yang paling kuat adalah Meidy Utama, lulus Cumlaude Teknik Lingkungan ITB 99. Kemampuan memainkan gitar klasik dan penguasaan sempurna dalam tajwid kitab suci menandakan Meidy sebagai produk berhasil dari program Bang Haji Roma pada era repelita IV : Nada dan Dakwah. Meidy adalah kombinasi sempurna antara olahragawan, ilmuwan dan copet pasar baru : Analisa tajam, tidak banyak bicara dan larinya terbirit-birit. Namun sayang di saat-saat akhir Meidy mengundurkan diri karena alasan istri. Alasan absolute yang kami yakin Adolf Hitler saja tidak berani membantahnya.
4. Chaidir Akbar. Teknik Lingkungan ITB 99. Ketua Triathlon Buddies. Jelas ini bukan lawan. Bertugas sebagai juri dan sekaligus pemegang kendali komando seperti petugas iqomat. Tangan dinginnya dalam melatih calon triathlete setara dengan Dedi Dores dalam mengorbitkan penyanyi pop rock macam Nike Ardila dan Popi Mercury. Kami semua mempunyai pandangan yang sama bahwa dari kami berlima dialah satu-satunya yang paling pantas menyandang gelar brand Ambassador Hoka One one, Garmin, Sepeda Trek, Herbalife, sirup Marjan, pelancar ASI Asifit hingga On Clinic.
Palembang tri memiliki rute yang sungguh epic. Berenang 1500m akan dilakukan di danau Jakabaring yang jernih airnya tawar rasanya dan tentunya tanpa ombak dan arus ! Bersepeda 40Km melintasi jembatan bersejarah dan terindah, yaitu jembatan Ampera. Kemudian berlari 10K akan mengitari komplek Jakabaring Sport City. Persis rute ASIAN GAMES. Rute ini sungguh spesial untuk siapapun yang menunaikannya, terkhusus untuk kami berlima, generasi remaja harapan orde baru yang pada masa kecil pernah terluka kesehatan mentalnya oleh undian PHP permen karet YOSAN.
OMBAK DAN ARUS
Tidak seperti biasanya, menghadapi di Palembang tri ini saya menjadi pribadi yang inheren dengan rasa tenang dan berkawan baik dengan percaya diri. Faktor utamanya dikarenakan swim leg kali ini akan dilakukan di danau yang jelas tanpa ombak dan arus. Dan Ini merupakan pengalaman pertama saya race di danau. Kawan, saya coba jelaskan sedikit duduk perkara bedanya ombak&arus dan kenapa ini penting bagi para kebanyakan mualaf triathlete seperti saya.
Ombak dan arus adalah duet maut dengan dua kepribadian yang berbeda seperti halnya Batman dan Robin, Hawkeye dan black widow atau Endang S Taurina dan Ratih Purwasih. Apakah setiap lomba di laut kita akan bakal mendapati ombak dan arus laut ganas atau tidak, itu bagai permainan dadu. Kadang beruntung seperti dapat undian porkas, kadang sial seperti cepet-cepet pulang ke rumah, taunya sedang datang bulan.
Kita ga bisa duga, ombak dan arus kadang hadir kadang izin. Oleh karena nya doa-doa dan rasa ikhlas adalah penentu, itulah mengapa swim leg merupakan bentuk amal ibadah yang lebih baik daripada menyantuni wanita berhak tinggi.
Perbedaannya ? Begini. Ombak itu dari tampakan nya saja seperti tatapan guru BP pada murid yang ga pakai sepatu warrior : sungguh horror dan bikin ciut. Sedangkan arus adalah hipnotis istri untuk membuka pin HP yang padahal sudah dikunci kombinasi davinci code dan sandi morse paling susah sedunia.
Ombak adalah tangible, tampak mata dan gertakan, adanya dipermukaan. Sedangkan Arus bersifat intangible, tidak terlihat namun menghanyutkan. Jika ada teriakan “Ini whatssap dari siapaaa??” nah itu suara ombak, sifatnya menggelegar dan bikin cegukan hilang. Sedangkan bisikan lirih “Transfer ya sayang” adalah arus bawah laut yang menghanyutkan dan sunyi melenyapkan. Sudah agak jelas ?
Ombak dalam sekejap dapat mengubah seorang triathlete jadi sapi glonggongan, sedangkan arus dapat membuat triathlete bersakit-sakit dahulu dan berenang-renang tidak mencapai tepian. Ombak dan arus diciptakan agar para penggiat triathlon rajin berlatih dan selalu dekat dengan Tuhan.
SWIM LEG
Hemat cerita, tibalah saya pada start point. Bendera start diangkat setelah agak terlambat 30 menit dari jadwal yang ditetapkan. Ini masih wajar dan dalam batas toleransi kami menunggu. Buat kita para lelaki triathlete dewasa menunggu selama 30 menit tidak ada apa-apanya, karena kami berpengalaman pernah menunggu hingga 40 hari 40 malam hingga selesai masa nifas.
Kami berenang 1500m dengan rute yang membentuk segilima dimana total ada 4 buoy di danau, sehingga anggap lah jarak antar garis start buoy adalah rata-rata 300m. Adi, Saya, Maryandi berbarengan masuk nyebur ke danau secara bersamaan. Maryandi bergaya lompatan atlet PORDA, gagah. Saya dengan gaya peloncat indah, tapi gagal. Sedangkan Adi dengan gaya pasien IGD turun dari korsi roda.
Kawan, berenang di start triathlon 300m pertama adalah selalu tentang ujian ketenangan dan pendidikan rasa sabar. Tidak terbawa suasana balapan dengan orang lain adalah modal dalam mengarungi kehidupan 1200m sisanya. “kepala ada di kaki, kaki berada di kepala” bukan lagi peribahasa puitis yang penuh kepalsuan konotatif, semuanya sungguhan.
Tersenggol, ketendang, tersikut perenang lain biasa terjadi, untungnya antar triathlete sudah saling mengerti dan teruji tingkat bapernya. Mungkin kebanyakan triathlete adalah alumni penonton konser punk atau dangdut koplo.
Namun tidak halnya ketika tiba-tiba Maryandi tanpa salam dan doa untuk 5 agama yang diakui di Indonesia menyusul saya, menyelinap di antara perenang lain dan lalu melesat jauh berada di depan Adi. Maryandi terdepan lalu menghilang. Saya emosi. Adi sendiri tampaknya sedang mempraktekan hafalan 1 dari 10 kesalahan gerakan dalam berenang di danau hasil temuan nya sendiri.
Saya tahu Maryandi adalah pemain bola jagoan, penghafal handal rumus-rumus kalkulus dan suami perayu ulung yang senantiasa menghindari konflik antar suku dengan istrinya sendiri. Tapi eskalasi kemampuan berenangnya membuat saya terheran. Di Palembang Tri ini Maryandi gilang-gemilang, setidaknya itu yang tampak mata saya di berenang 300m pertama. Selebihnya saya tak tahu lagi, karena saya kembali berhadapan dengan konflik horizontal dengan diri saya sendiri.
Hingga mencapai bouy ketiga sebetulnya saya tak mengalami kesulitan berarti di swim leg ini kecuali satu hal : kecepatan. Ya, saya dan kecepatan dalam berenang belum saling mengenal jauh, kami masih dalam taraf perjodohan yang dipaksakan. Jadi kami masih di jalan hidup masing-masing tidak saling cemburu. Namun, di sisa kira-kira 300mm saya kembali ke kebiasaan lama yaitu mismanagement gerakan antar lini stroke, kicking, gliding, breathing, sighting. Saya keseringan breathing-sighting-breathing-breathing-sighting, atau kosakata sederhana nya : ngap-ngapan.
Kawan, ternyata berenang di danau terasa lebih kehabisan tenaga lebih awal, tahanan air nya lebih berat daripada berenang di laut sehingga membutuhkan power lebih. Saya sudah berniat setelah race selesai akan bertanya pada Kuch Chaidir Akbar atau Meidy Utama yang keduanya lulusan Teknik lingkungan. Karena saya tahu jurusan Teknik lingkungan pengetahuan dan cakrawala ilmunya sangatlah luas, buktinya Chaidir Akbar bisa menjadi ketua tribuds dan menghabisnya karir pekerjaannya di perbankan, yang jelas tidak ada hubungannya dengan mata pelajaran kuliahnya dulu. Jika hanya perbedaan sepele danau dan laut harusnya sangat menguasai, karena jelas-jelas itu berhubungan dengan ‘lingkungan”, seperti halnya drainase, selokan, tetangga, bendahara RT dan jadwal siskamling.
Selesai swim leg dan keluar danau, saya sepertinya berada di rombongan akhir para perenang yang mencapai tempat transisi. Adi dan Maryandi tampaknya jauh selesai duluan. Saya menghabiskan waktu selama 55 menit, ini catatan terbaik saya dalam mencapai 1500m swim leg selama mengikuti triathlon Olympic Distance di Palembang. Ya karena baru sekali ini. Saya mendapati tempat transisi (T1) seperti baris tarawehan pada 10 malam terahir : sepi dan tersisa yang tua-tua.
BIKE LEG
Waktunya saya sekarang menghadapi bike leg 40K yang dibagi atas dua loop. Saya akan melintasi 2 tanjakan di jembatan tinggi Ampera. Seharusnya ini perkara kecil dibanding penderitaan yang pernah saya alami yaitu melewati 6 kali tanjakan di Cebu, 18 kali tanjakan argenia loop Sentul dan 24 kali percobaan minta sepeda TT ke istri. Dua jalur di sepanjang jalan jembatan ampera itu dibagi dua, satu untuk kami para pembalap sepeda, satu jalur untuk para pengendara bermotor. Tampak sekali para pengendara bermotor kota pempek ini menyemangati kami para pembalap, yaitu dengan cara membunyi-bunyikan klakson nya. Sungguh riuh. Saya bersemangat.
Saya tidak menyia-nyiakan waktu untuk memacu si Bungsu, begitu sepeda saya biasa dipanggil. Target saya menyusul Adi dan Maryandi demi memenangkan persaingan yang tidak bernilai akhlakul karimah apa-apa ini. Namun belum sampe 20 menit diatas sepeda, hujan besar menggerayangi Palembang, jarak pandang jelas terbatas sekitar 100m. Saya sedikit berhati-hati takut sepeda kepeleset dan jatuh dari jembatan Ampera ke sungai Musi, masa saya harus swim leg lagi.
Selama bike leg ini saya berharap dapat melihat atau berpapasan dengan para triathlete nasional seperti Jauhari Johan dan Ahlul Firman, mereka pantas berbangga karena juga merangkap sebagai atlet tuan rumah, sayangnya ga kesampean. Tampak di rombongan depan ada beberapa yang saya kenal seperti triathlete pejuang antidiabetes Sdr. Piston, sahabat saya sesama anggota Barudak Triathlon Bandung Pak Hendra Kimshenk dan si ganteng maut berdarah cuko asli Palembang keturunan Hakim Olajuwon, Sendy Putra.
Tampak Adi, Maryandi dan drg. Aditya berada dirombongan itu walau sedikit tercecer di belakangnya. Sedangkan saya masih berjarak sekitar 3Km dari mereka dan dalam masa perjuangan menyusul selebtrigram kuat kombinasi Lisa Blackpink dan Daud Jordan : Hilda Novianti (@hildnov). Tidak jauh di belakang saya ada Bu Febe (istri pa Hendra Kimshenk) dan adik kelas saya Luthfi yang menggunakan sepeda lipat. Ironi.
Di loop kedua, pelan-pelan hujan mulai mereda dan pelan-pelan saya dapat memotong jarak dari Maryandi dan Adi. Tapi karena pelan-pelan, hingga finish bike leg berakhir saya tidak bisa menyusul mereka berdua. Apalagi Piston, Pak Hendra dan Sendy sudah jauh di depan. Sedangkan Hilda dimana, saya tidak memerhatikannya lagi. Kata almarhum ayah saya, tidak baik cari-cari istri orang lain.
RUN LEG
Masuk (T2), saya mendapati semua barang dan peralatan yang saya simpan di transisi seperti sepatu, kaos kaki, visor, bib, baju ganti, foto istri*) basah kuyup karena hujan tadi. ini pelajaran berharga buat saya agar kedepannya barang-barang di transisi baiknya dilindungi kantong plastic, tenda atau asuransi merangkap investasi. *) dalam konfirmasi
Di run out ternyata ternyata bertemu Maryandi. Kami ngobrol sebentar dan tersadar bahwa persaingan di antara berdua ini hanyalah bersifat fana, tapi tidak dengan Adi Mulyadi. Maka kami bersepakat untuk bersekongkol untuk lari bersama-sama menyusul Adi di depan. Setidaknya kami dapat saling menyemangati dan bercerita satu sama lain, minimal dengan Bahasa isyarat. Karena sebetulnya kami tidak ingin bersaing, hanya keinginan saling mengalahkan saja yang sangat besar.
Tampak Adi terlalu jauh untuk disusul, karenanya lepas 5km pertama Maryandi mendisposisikan seluruh kewenangan menyusul ini kepada saya, ditambah tidak ada lagi bahan pembicaraan diantara kami. Ternyata mengobrol sambil berlari kedua setelah berenang 1500m di danau dan bersepeda 40K tak ubahnya keramas sambil push up : belepotan.
Kawan, run leg ini dilakukan di dalam kompleks jakabaring, luar biasa steril dan kami berlari sekencang mungkin tanpa rasa khawatir kesenggol kendaraan bermotor, motor melawan arah atau razia mobil ganjil genap. Namun di 5Km kedua tidak ada lagi kekuatan apapun dari diri saya untuk memacu lari, yang penting finish sehat dan keluarga tetap utuh.
Akhirnya Adi Finish duluan kemudian disusul saya dan diikuti Maryandi. Tampaknya secara de facto Adi Mulyadi memenangkan kompetisi internal ini. Tak terima dengan keputusan ini, kami (tepatnya saya dan Maryandi) bersepakat melakukan rekapitulasi per leg. Dan hasilnya adalah, untuk swim leg persaingan sia-sia ini dimenangkan Maryandi dengan 43:41 menit, bike leg dimenangkan Adi dengan 1:14:47 dan run leg dimenangi saya dengan waktu 53.53 menit. Hasil yang cukup adil namun rawan konflik di tingkat banding.
PENUTUP
Rasa syukur terbesar dari kami bertiga adalah kami tetap sehat dan tidak disusul Hilda Novianti dan Bu Febe. Beruntung juga bahwa kami tidak satu kategori race bersama dengan para triathlete golongan sayap radikal saperti Narita Diyan (@naritadiyan), Ayu Sumardoko (@ayu_soemardoko) dan atau Xtin Milan (@x.t.i.n_m.i.l.a.n). Pengalaman buruk saya disusul di duathlon Powerman, Pariaman Triathlon, Sungai Liat triathlon oleh mereka-mereka adalah bukti empiris bahwa emansipasi wanita kejam bagi kami, para pria dengan keterbatasan stamina.
Selesai race kami bertiga melakukan konsolidasi angkatan dengan Kuch Chaidir Akbar kami mendiskusikan banyak hal dan mengambil satu kesimpulan bersama. Bahwa mengikuti Palembang Triathlon jarak Olumpic Distance pada hari minggu yang diguyur hujan lebat, lalu lupa pendinginan dan tidak melakukan recovery nutrisi yang cukup, maka dipastikan besoknya akan memasuki hari Senin.
Rizal Ginanjar
@sukria21
Triathlon Barudak Bandung
271119.

Tuesday, June 18, 2019

Saya dan Bangsaen 70.3

*) Bacaan bagi para virgin tri (Bagian 4)
Kawan,
jika ada seseorang mantan profesional marketing yang kena tipu propaganda marketing tingkat dasar&pemula, maka orang itu adalah saya sendiri. Bagaimana tidak, hanya karena tergoda isi propaganda murahan di halaman depan website, rusak sudah martabat ini dipecundangi race 70.3 Bangsaen-Thailand.
Begini sebagian bunyi propaganda sialan tersebut :
Why race with us ?
• Flat water with a temperature of 24-27 degree Celsius • Easy to achieve a personal best in the bike course • Enjoyable run course • Great Hospitality • Easy access from Bangkok City - only a 60 minutes drive • Many special activities during the weekend • Enjoy Thai food and traditional massage • Enjoy shopping in Bangkok or spend nightlife in Pattaya city after finishing the race •Our favorite race in Thailand
sumber:http://asia.ironman.com/triathlon/events/asiapac/ironman-70.3/bangsaen.aspx#axzz5q4pbkbVg
Tiga point teratas sudah cukup membuat triathlete minim skill dan penuh ampunan seperti saya menjadi yakin untuk ikut berpartisipasi. Ditambah bisikan-bisikan para suhu triathlon kelas diamond macam Kuch Chaidir akbar dan hipnotis tingkat Uya Kuya oleh Rudy Winarto, saya semakin termotivasi untuk daftar tanpa tekanan dari pihak berwajib manapun. Triangle kata-kata dalam website (i)Flat water (ii) Easy to achieve a personal best in the bike course dan (iii)Enjoyable run course adalah segitiga illuminati dalam bentuk nyata dan penuh tipu daya, dimana tambahan kalimat “Our favourite race in Thailand” merupakan lingkaran mata dajjal yang membuat saya terpana dan lalu tunduk patuh menjadi pengikut jamaah al-Bangsaeniyah 70.3.
Saya mengisi berlembar-lembar form pendaftaran race tanpa rasa gentar, tanpa sedikit pun terpengaruh propaganda marketing basic tingkat II seperti “senin harga naik”, “beli sekarang gratis AC” atau “bayar sekarang, Istri menjadi muda”. Saya membayar biaya race tier 2 dengan penuh aroma kemenangan, optimistik dan sedikit angkuh. Setelah mendapat email konfirmasi lolos sebagai calon peserta, saya pun mendownload lagu-lagu yang dapat mempertahanakan optimisme dalam menatap masa depan di race Bangsaen 70.3 seperti “bangun pemuda pemudi”, “garuda pancasila” dan “ingat siksa kubur”.
Persiapan Race
Dengan kondisi Bangsaen yang menurut catatan website nya flat water, saya tidak memfokuskan latihan di berenang, toh saya pernah menyelesaikan race Cebu 70.3 yang jelas-jelas tidak flat, berarus kencang dengan peserta yang sesak ramai mirip acara istigozah NU, padat dan khidmat. Di atas kertas, jika di Cebu saja lolos harusnya saya lolos di Bangsaen dengan mudah, minimal karir saya tidak mentok di swim leg. Untuk itu, persiapan berenang saya kerjakan menu latihan sekitar 8-10Km per bulan selama 3 bulan, itupun sering saya jama-qosor.
Sesunggunya dalam berenang isunya adalah teknik, karena toh memperbanyak mileage berenang dengan teknik yang salah malah akan membentuk muscle memory yang salah, yang justru akan semakin sulit untuk memperbaiki ke arah yang husnul khotimah. Berkaitan dengan hal tersebut, saya memilih berteman dengan mantan motivator gagal dan sekarang menjadi pegawai sipil Amerika Serikat, Adi Mulyadi. Dia bersama rasa tulus dan ikhlas yang tertanam rimbun dalam dirinya pernah memberitahu saya tentang “10 kesalahan dasar dalam berenang bagi pelajar pemula dan pramuka tingkat siaga”. Dan kita pun bertemu. Lalu di depan mata kepala saya sendiri Adi Mulyadi mempraktekan kesalahan-kesalahan dasar tersebut : seperti stroke terlalu cepat, nafas terburu-buru, kicking tidak efektif serta terlalu jujur sama istri.
Jelas hal ini menambah pengetahuan dan cakrawala saya. Namun sayangnya, pada saat sesi tanya jawab saya minta agar dia mempraktekan teknik yang benar, Adi Mulyadi tidak berkenan menjawab karena tidak merasa kompeten : “karena bukan spesialis saya”, katanya. Sungguh waktu yang sia-sia bagi mata kepala saya sendiri.
Saya memilih memperbanyak latihan bersepeda. Cita-cita saya tidak semuluk Atta Halilintar untuk tembus 20 juta subscriber, tidak sehebat Pak Jokowi yang ingin membangun 5000km jalan tol, tidak seambisi Pak Prabowo agar Indonesia menjadi macan Asia. Saya hanya bercita-cita meningkatkan avg speed dari 24.21 km/jam saat race cebu menjadi 28 km/jam saja di Bangsaen ini. Sehingga menurut perhitungan di atas kertas, jika di cebu saya menghabiskan waktu 3 jam 41 menit, maka di Bangsaen saya berharap menjadi sub 3.30 menit. Itu saja. Muluk-muluk ? tidak. rasional ? tentu saja belum tentu. Semua tergantung usaha, doa dan sesuai pepatah : laki-laki hanya berencana, perempuan keburu curiga.
Oleh karena itu, untuk mendukung pencapaian cita-cita tersebut saya giat melatih endurance di atas statis dumbtrainer, melatih handling dan menguatkan power di loop argenia sentoel, serta menghapal doa-doa pendek, seperti doa selamat diperjalanan dan doa agar tidak takut mertua.
Bagaimana dengan persiapan lari yang akan tempuh dalam bingkai “Enjoyable run course”. Kawan, walau sekolah di SD negeri inpres tapi saya mengenal kosakata “enjoy” itu sejak kelas 2 SD. Hal ini dikarenakan dulu kala di kampung saya ada aktivis karang taruna yang dijuluki “Si enjoy”, pemain bola volley spesialis posisi toser, subsubspesialis toser dan muadzin serta beranting satu. Jelas stratanya tingkat doctoral sehingga langka dan melegenda. Maka kata “enjoy” sudah berteman lama dengan saya. Dan 30 tahun berlalu, rasanya kata enjoy itu tidak ada perubahan yang berarti dalam Bahasa Indonesia, semuanya bernada positif : nikmat – menikmati, dipakai untuk keadaaan yang membuat happy, nyaman dan menyenangkan. Jadi kata-kata “enjoyable run course” dalam cepat-cepat saya terjemahkan sebagai “pokonya bagian lari nya enak, sejuk, pemandangan indah dan latihan secukupnya tidak berlebih-lebihan, karena ini hanya urusan dunia yang fana.” Jadi latihan lari saya banyak dihabiskan untuk menjaga kebugaran saja, target sebulan menghabiskan 100Km selama 2 bulan. Ini pun sering kali alpa, karena saya punya hubungan kekeluargaan yang kurang baik dengan bangun pagi.
Tiba di Bangsaen
Sampailah saya di Bangsaen bersama pasangan triathlete berbudi pekerti, berakhlak mulia, berpendidikan tinggi, dan jamaah fanatik lambe turah : Verania Andria (Rara) dan Abdul Wahib (Ucok). Keduanya PhD. Kami menyewa mobil double cabin dari Suvarnabhumi airport dengan perjalanan mencapai Bangsaen ditempuh dalam 60 menit, sesuai apa yang disampaikan di website. Sungguh merupakan informasi dari website yang akurat dan berakhlak luhur.
Kota kecamatan ini Bangsaen tidak lebih tidak kurang seperti Pangandaran, selain memang kotanya kecil, pedagang kaki lima sepanjang pantai, juga karena dimana-mana saya bertemu dengan orang Indonesia. Ya, Indonesia menjadi penyumbang peserta ke-4 terbanyak di race ini. Di acara check in sepeda saja, saya tak henti hentinya bertemu dengan sesama orang Indonesia. Kita saling bertegur sapa, salam-salaman dan selfi-selfi. Mirip bubaran Solat Id. Bangga sekali saya menjadi orang Indonesia yang sudah teruji penuh keramahtamahan, kekompakan, persaudaran, dan tentu saja berteman baik dengan rasa sabar. Kalau pun tidak bisa mengatasnamakan satu bangsa, setidaknya sifat-sifat tersebut mewakili saya sendiri.
Rasa sabar tersebut pertama-tama saya tabung saat kunjungan ke mekanik sepeda. Sadar atas kemampuan membongkar sepeda jauh lebih baik daripada memasangnya maka saya putuskan untuk memasang sepeda dibantu para mekanik yang mulia. Setidaknya ada 10 pos mekanik. Saya datangi mekanik no 10 yang kelihatannya sangat serius, focus, tidak banyak bicara namun banyak bekerja. Mirip rampok Indomaret. Tampakan mekanik ini seperti orang Thailand kebanyakan, sedangkan gaya rambutnya sedikit mirip Mukhsin Alatas.
Walau saya dapat antrian ke-6 namun saya sabar. Saat tiba giliran sepeda saya dipasang, sang mekanik dengan sigap tanpa babibu, tanpa bicara satu kata pun, tanpa Assalamualaikum, tanpa memanjatkan puji syukur atas kehadirat Alloh SWT, dia langsung mengerjakan pemasangan sepeda saya. Ga sampai 15 menit sepeda saya terpasang tegak berdiri seperti habis minum viagra. Namun saat tiba giliran memasang rantai dan koneksi shifter DI2 nya, sang mekanik itu rautnya mulai berubah seperti orang Uganda yang tersesat di Ciroyom, tertegun dan diam seribu Bahasa. Jika ditambah kebisuan dia dari awal dia bekerja maka total jadi diam duaribu Bahasa. Dalam kebisuan itu saya tidak berusaha bertanya untuk sekadar basa basi, tidak juga menawari minum, atau sekedar bertanya berapa harga tanah per meter di Bangsaen atau menawarkan singgah ke rumah saya di Bandung, bagaimana biasa sebagai keramahan orang Indonesia pada umumnya. Toh saya bicara pun belum tentu dia bisa mengerti. Setelah sekitar 10 menit dia tertegun sambil sekali-kali mencet-mencet shifter DI2 dan menguatkan kabel-kabel sepeda saya, dia menoleh ke saya dan bertanya dalam Bahasa Thailan yang artinya kira-kira : “ini sepedah anda?”, lalu saya jawab dengan dua suku kata paling universal di dunia ini selain “oh no”, yaitu : “Oh Yes”.
Sadar saya tidak bisa berbahasa Thailand, dia tidak berminat meneruskan percakapan dengan saya dan lalu memanggil temannya yang bisa menerjemahkan ke dalam Bahasa Inggris. Mungkin agar saya menjadi mengerti, ah sungguh suatu niat baik costumer service yang ekselen. Lalu Muchsin Alatas itu menerangkan kepada temannya dalam Bahasa Thailand tentang keadaan sepeda saya. Selesai mendengarkan panjang lebar mekanik pertama dan tanpa memberikan feedback yang berarti, mekanik kedua ini menyampaikan ulang kepada saya. Saya siap mendengarkan penjelasan ini dengan sangat patuh dan tidak menginterupsi seperti akan mendengarkan ceramah subuh Zainudin MZ. Kali ini teman Muchsin alatas ini menerangkan hanya dalam 2 kallimat saja : singkat, padat, tidak jelas. Selesai dia bicara saya menjadi sedih dan haru. Sedih karena saya tau shifter DI2 sepeda saya macet tidak bisa diperbaiki,artinya saya akan bersepeda nanti dalam gear yang fix, tidak bisa pindah gigi. Haru karena mekanik yang kedua ini pun berbicara dalam Bahasa Thailand!! Ya Alloh, kenapa kau ciptakan dua orang Thailan ini begitu penuh birokrasi.
Race
Tiba juga pada race. Suasana di transisi sepeda seperti halal bihalal di kantor BUMN, masih salam-salaman, ramai dan tidak lupa foto-foto bersama setiap angkatan. Bedanya kemeriahan ini ditemani rombongan rasa tegang, perasaan yang biasa terjadi saat menjelang start triathlon atau saat hape dipegang istri.
Kawan, saya dan rasa sabar di Bangsaen ini mendadak jadi sahabat karib. Selain shifter DI2 sepeda yang sudah divonis macet, menjelang start ini saya mendapati ban depan sepeda saya bocor, sedangkan 10 menit lagi gate transisi akan ditutup. Tanpa mau ambil resiko, setelah berkonsultasi dengan Kuch Chaidir Akbar, saya putuskan untuk memohon pertolongan mekanik yang stand by di daerah transisi. Saya menemui dua mekanik dengan mukanya sama-sama cemberut, asam dan muram. Tuhan menciptakan orang Indonesia saat tersenyum, tapi mungkin menciptakan 2 orang Thailan ini saat sembelit.
Puji syukur saya panjatkan, mekanik ini dengan sigap menggantikan ban dalam sepeda saya, cepat sekali. Sebelum saya sampaikan ucapan terimakasih dan memanjatkan doa terbaik agar mekanik itu : (i) dibalas segala amal kebajikannya (ii) dimudahkan jodohnya (iii) dilancarkan rezekinya dan (iv) dikaruniain istri yang tidak cepat menghabiskan rezeki tersebut, dia buru-buru menyuruh saya cepat balik ke pos sepeda saya. Saya pun langsung berlari dorong sepeda sambil tetap memanjatkan doa-doa tersebut. Pekerjaan ganda yang tidak sesulit berlari sambil berwudhu.
Start swim leg ini dengan system wave 3 orang – 3 orang. Ketegangan memuncak. Giliran saya maju start dan kemudian tangan petugas diangkat yang menandakan giliran saya masuk ke ruang sidang laut Bangsaen. Saya diajari oleh para senior triathlon untuk tidak terburu-buru berlari menuju laut agar HR terkontrol dan tetap tenang. Saya mempraktekannya dengan yakin. Ini adalah race triathlon ke-7 kali saya di laut, saya yakin laut sudah mengenal baik saya dan mau berkolusi untuk mengantar segera ke garis finish.
Namun Kawan, di duaratus meter pertama berenang ini saya kelimpungan. Ombaknya galak kaya Reni Jayusman. Agresif bak Mike Tyson baru dengar adzan magrib buka puasa. Saya kena hook berulang-ulang tanpa sempat ambil nafas, kepala pusing, ulu hati mual, saya tersudut dan hampir-hampir TKO. Untung saya sempat pegangan tali untuk menenangkan diri dan mengambil nafas panjang. Jarak pandang laut ini hanya sejauh ujung jari saya meregang, saya sadar telah ditipu website gratisan sialan. Namun Tidak ada pilihan lain kecuali saya tetap terus berenang menyelesaikan jarak hingga 1,9 Km. Namun stroke gaya bebas saya semakin lama semakin lemah, nafas sudah semrawut, air laut berbondong-bondong bersilaturahmi ke dalam perut saya. Saya menyesal ikut Bangsaen 70.3 ini. Jika saya dibolehkan memilihkan azab untuk seseorang yang nulis Bangsaen ini adalah flat water, maka saya pilihkan judulnya : “Azab seorang suami kena disentri karena hape nya diperiksain istri setiap hari dan whatssap nya tidak punya mode clearchat”.
Saya menghabiskan waktu di swim leg 55 menit. Finish berenang saya terhuyung menuju ke transisi sepeda dengan keadaan kepala serasa sebesar Ahmad Albar tidak cukuran 5 tahun, tangan pegal serasa habis dorong tractor mogok, badan lemas ter-demotivasi seperti baru terima kabar bahwa istri datang bulan. Belum selesai merasakan&mengingat-ingat hasil perjuangan di laut, di perjalanan menuju transisi saya teringat keadaan shifter DI2 sepeda saya yang macet, ban dalam yang sempat bocor dan cicilan KPR yang ga selesai-selesai. Semakin mual.
Memulai bike leg, tidak lupa saya mengucap bismillah dan doa nabi nuh menerjang air bah. Sepertinya penempatan doa yang salah, harusnya saya membaca itu sebelum nyebur ke laut. Tapi saya tidak menemukan doa lain yang lebih cocok lagi untuk memulai sepeda dalam keadaan kenyang air laut.
Saya sebetulnya mengawali bike leg ini dalam perasaan yang optimis karena hasil meningkatkan porsi latihan sebelumnya dan berbekal “Easy to achieve a personal best in the bike course” walau fisik carut marut. Selepas mounting point, saya bersepeda seperti genk motor lolos kena tilang polantas, lega dan gembira ahirnya bisa lepas dari laut. Namun kawan, 10 Km pertama bike leg ini seperti lewat di komplek perumahan ABRI tahun 70an, banyak speed trap dan polisi tidur. Alhasil bidon di aerobar saya jatuh. Ini ujian yang ketiga berkenaan dengan sepeda saya setelah DI2 dan ban bocor. Untungnya selama di Bangsaen ini antara saya dan rasa sabar sudah menjadi satu bingkai persaudaraan dan persatuan yang saya sudah terpaksa terima dengan lapang dada. Total 3 jam 22 menit saya tempuh jarak 90Km bike leg, alhamdulillah di bike leg saya berakhir menyenangkan dan husnul khotimah.
Masuk ke run leg, saya melihat teman-teman dari Indonesia sudah ada di transisi untuk bersiap-siap lari. Ada Om Agung Triharyadi dari Depok, Pak Deky Wahyu pemilik Gym D’Three spesialis pencetak otot ikal dan bergelombang, dan teman seperjalanan saya Abdul Wahib Phd. Tidak lupa kami foto selfie dulu sambil bersepakat mengeluh tentang panas matahari yang semakin siang semakin sok akrab. Suhu Bangsaen Panas 36C, bila naik 2 derajat lagi kota kecamatan ini harusnya ditaburi paracetamol biar reda.
Tapi diam-diam saya memendam motivasi yang tinggi untuk berlari, setinggi seperti ketika mendengar kabar istri sudah selesai masa nifas. Saya masih punya sisa waktu 4 jam untuk berlari 21.1K menuju batas akhir waktu maksimal (COT). Run leg ini terdiri dari 3 putaran, dimana satu putaran berjarak 7km. Jika sesuai dengan info website yang “Enjoyable run course”, maka 1 putaran teridiri atas 1 kali enjoy, berarti secara teori, kita akan mendapatkan nikmat&pahala duniawi sebanyak 3 kali total enjoy. Namun kawan, yang terjadi saya mengalami siksa duniawi sebanyak 24 kali. Bagaimana tidak, dalam satu loop di Bangsaen yang enjoy ini kita melewati 3 tanjakan curam, 2 tanjakan melandai, dan 3 turunan curam.
Kawan, jika kau anggap berlari di turunan curam setelah bersepeda 90 Km bukan siksaan duniawi, maka cobalah pergi menemui mas Agung Herkules, lalu minta beliau jatuhkan barbelnya ke pahamu sebanyak 33 kali. Maka kau akan merasakan otot paha seperti ager-ager jelly drink, sementara lutut dan tempurungnya bagai hubungan 15 tahun pernikahan, bawaannya mau copot. Dan ini semuanya dilalui dalam keadaan matahari seperti Selly Marcelina di umur 26 tahun, sedang hot-hotnya.
Kawan, ada momen-momen rute dimana kita berpapasan 2 arah antara pelari depan dan pelari belakangan. Momen dimana kita berada sebagai pelari di belakang itu rasanya pedih kawan. Dan itu saya alami ketika berpapasan dengan agen MLM triathlon tidak terpuji, pelaku hipnotis kepada para mualaf triathlon untuk “klik race”, anggota the cunihin tanpa selektif jenis kelamin, siapa lagi kalau bukan Rudy Winarto. Ini kali kedua saya terkena bujuk rayu Rudy untuk ikut race yang nyata-nyata jauh dari nilai-nilai perikemanusiaan dan perikeadilan.
Masuk loop 2 run leg adalah masa dimana saya merasa semakin sok akrab dengan Tuhan, saya sangat jarang untuk menangis di tengah malam salat tahajud, bukan karena saya hamba yang kuat hatinya, tapi karena saya tidak pernah terbangun. Tapi diloop 2 ini saya memohon dengan tulus, mau menangis rasanya karena panasnya kebangetan. Saya memohon agar ditolong seperti Nabi Ibrahim saat didinginkan apinya saat dibakar raja Namrudj. Maka, kun fayakun, Bangsaen malah semakin panas. Saya lupa teks doanya.
Di loop 3 saya mendadak tidak tahu bedannya lari dan jalan kaki, karena perasaan cape nya sama saja, sesaknya sama saja, kecepatan nya sama saja. Saat jalan capenya seperti lari, saat lari pace nya sama seperti jalan. Sebetulnya saat sejak loop 2, saya hampir selalu berbarengan dengan satu rombongan terdiri atas 1 orang perempuan dan sekitar 10 orang laki-laki, belakangan saya tahu perempuan itu adalah putri raja Thailan sedangkan sisanya adalah pengawal-pengawal kerajaan. Sepanjang berlari, para pengawal itu menyanyikan lagu-lagu mars yang indah sekali liriknya, sayangnya saya tidak mengerti artinya. Terinspirasi mereka, di loop 3 ini saya coba untuk menyanyikan lagu-lagu untuk menolong motivasi saya yang mulai lupa akan tugasnya, seperti lagu “Tuhan” karya Bimbo, “perdamaian” dari Nasida Ria ditutup dengan lagu bergumam dari Nisya Sabyan. Tepatnya saya sudah mendekati halusinasi.
Tuhan bersama orang-orang yang selalu mengisi ulang buah-buahan dan air di water station, karenanya saya selalu tertolong terhindar dari heatstroke serta dijauhkan sifat-sifat mengeluh dari rasa lapar dan dahaga hingga finish tiba.
Akhirnya. Saya finish dengan merentangkan sang merah putih, bendera kebanggaan saya dan lebih dari 250 juta orang sebangsa dan setanah air. INDONESIA. Atas nama anak bangsa yang sudah tertipu oleh website Bangsaen 70.3 ini, saya berharap ada dari sebagian kita yang membuat race di Indonesia khusus untuk para sahabat triathlon di Thailand untuk meningkatkan persaudaraan antar anggota negara ASEAN. Usulan rute : Renangnya di Parang Tritis Jogja, sepeda di tanjakan emen Subang, larinya ke warung Mang Ade-puncak. Sehingga finishnya bisa berakhir di RS Marzuki Mahdi-Bogor. Lalu Kita kasih judul race nya “ Enjoyable race in Indonesia, lebok anyeng..!”.
Kawan, beruntungnya race bersama banyak saudara sebangsa dan setanah air, kita diberikan berkah untuk menjalin persatuan Indonesia dalam bentuk nyata. Kita saling memberikan semangat dengan saling bertegur sapa dan saling mencela. Di sepanjang rute saya bertemu dengan Om Senjaya pemimpin spiritual Fake Tri, Teh Thya Girindra dari Bintaro yang dimana sebagai laki-laki murah hati saya harus mempersilahkan beliau lari duluan tanpa bisa saya kejar. Saya juga bertemu dengan teman-teman alumni minitri Tribuds yang jika bertemu seringnya sedang tidak pakai celana dalam seperti : Kang Yudi dari Burner, Sendi Putra dan Toni Lim dari UI tri, Yusuf Cupe G10tri, Lala Zain dari Canitri, Aidil Akbar dari Gotri, karena bertemu mereka selalu pas race pake triathlon-suit. Karena memakai celana dalam bersamaan dengan trisuit sungguh suatu pekerjaan yang berlebihan. Kami memiliki keyakinan yang sama bahwa ikut race triathlon adalah untuk hidup sehat namun tidak untuk tujuan awet muda. Karena awet muda hanya milik Sofia Latjuba dan model kaleng Kong Ghuan. Kenapa kaleng Kong Ghuan ujung-ujungnya tumpul, karena jika ujung-ujungnya pinjem ATM ga dibalikin namanya istri sendiri.
-Bersambung-
Rizal Ginanjar
The Cunihin.

Friday, November 23, 2018

SAYA DAN SENTUL ULTRA TRIATHLON 2018

*) Bacaan untuk para virgin Triathlon (3)
*) tidak berfaedah dibaca para triathlete
Kawan,
Ada dua kejadian yang membuat saya terheran-heran tahun 2018 ini, yang pertama kenapa Angel Elga mau kawin sama Vicky Prasetyo, yang kedua kenapa saya mau ikutan race Sentul Ultra Triathlon (SUT 2018).
Berbekal hanya dari referensi Kuch Chaidir Akbar (Idir), “SUT hanyalah ajang non kompetitif, ajang latihan bersama, tempat ketawa-ketawa para triathlete dan DNF pun ga apa-apa”, saya percaya begitu saja. Sebagai sesama laki-laki yang pernah mengenyam Pendidikan Moral Pancasila serta sama-sama mengidolakan Ibra Azhari, rasanya Kuch Idir tidak mungkin membohongi saya. Kami sama-sama percaya bahwa Tuhan akan marah atas semua perbuatan bohong, kecuali tentang harga sepeda kepada istri.
Namun mengenai “DNF pun ga apa apa” saya agak tidak terlalu yakin, apa benar para triathlete senior sepemurah itu. Ingat kawan, walau triathlet yang masih duduk di kelas matrikulasi, saya ini pemenang hasil kompetesi dari milyaran sel sperma yang diselundupkan Ayah di Rahim ibuku setiap pagi, siang dan malam. Jadi untuk “DNF pun ga apa-apa” buat saya agak sedikit makruh hukumnya. Apalagi bagi para triathlete senior yang hasil kompetisi milyaran selnya mungkin hasil PB, rasanya dengan prinsip “DNF pun ga apa-apa” arwah-arwah nya bakal penasaran.
Kawan saya jelaskan sebentar, peserta SUT ini dikelompokkan atas beberapa golongan :
i) Golongan Triathlet Sufi, mereka yang akan menyelesaikan jarak double Ironman, (281.2 miles) mereka akan menghabiskan waktu maksimal kira2 36 jam..!! mereka start dari sabu pagi, akan selesai kira-kira di minggu malam. Bayangkan, dengan 36 jam Dangdut Academy sudah bisa masuk babak semifinal, sedangkan para triathlete sufi ini masih saja tawaf di Sentul.
ii) Golongan para jagoan namun butuh hidayah, yaitu golongan orang-orang triathlete senior yang pernah melewati jarak triathlon 70.3, mereka ditempatkan pada hari sabtu atau minggu start pagi untuk menempuh jarak 70.3 atau 140.6. Golongan ini masih race Sentul saat jam 12 siang dengan COT hanya 7.5 jam, Panasnya mirip sama di Mekkah, namun pahala nya tetap saja pahala Sentul. Butuh hidayah bukan ?
iii) Golongan awam dan penuh ampunan, yaitu golongan orang-orang sok jagoan yang belum pernah mengenyam jarak 70.3 sekalipun, saya ada diantaranya. Kami ditempatkan di start sabtu sore. Tidak kena panas Sentul, namun berpeluang bertemu sundel bolong karena jam 11 malam masih ada lintasan. Keuntungannya COT nya diperpanjang hingga 8.5 jam, karena kami golongan yang penuh ampunan.
Dengan penggolongan seperti itu tentu saja saya tidak sempat bertemu para senior-senior dari teman2 ahlu ilmiah wal jamaah G10 seperti Roy Iskandar, Achmad Danang, Benyus, Mba L, Uda Darwis, Kang Awal, Piston dkk tidak juga ketemu om-om GOTRI penebar diskon kasih sayang macam Rudy Winarto, Om Reza, Om Ray, Om Aidil, Capt Renato, Om Ikbal, Om Joni, teman-teman F3 Lae DMP, “Mr. Happy” Lala, Om Senjaya dkk, apalagi bertemu teman-teman Tribuds 2017 yang butuh kasih sayang mertua seperti Franklyn, Narita, Hilda, Sendi dkk. Saya sempat bertemu Tirfan dan Yoyo yang habis finish shift pagi, itu pun mereka terburu-buru mau pergi dengan muka ga enak seperti sudah nahan BAB 3 hari 3 malam.
Saya datang aga terlambat ke kolam, dan menjadi orang terakhir masuk di kolam. Tidak ada tanda-tanda adegan latihan bersama di antara golongan awam yang harusnya memperbanyak gerakan-gerakan yang menandakan keadaan tumaninah. Yang ada malah saling pamer kekuatan dan kecepatan renang masing-masing hingga kolampun bergoyang dan berombak. Jelas saya tidak mau kalah, tidak sempat pemanasan lama-lama karena khawatir semakin tertinggal jauh dari yang lain, saya langsung nyebur ke kolam dengan gaya yang saya tidak pernah lulus saat EBTA praktek, yaitu gaya bebas.
Di swim leg 500m pertama adalah ajangnya pencitraan dan saya layak dapat piala citra atas keberhasilan memeragakan kemampuan renang saya layaknya Matt Damon di film The Bourne Identity : atletis, cool dan kebapak-an. Sampai pada akhirnya saya disamperin manusia yang kekuatannya seperti Hercules dan daya cenayangnya bagai ki Joko Bodo yaitu : Willy Pratama. Om Willy mendekati saya diujung kolam dan lalu berusaha menenangkan saya : “pake gaya katak dulu biar HR nya turun”. Atas daya cenayangnya itu dia tahu persis sebenarnya dengan gaya bebas itu saya sedang berjuang keras mendapatkan bulir-bulir oksigen. Walhasil di 400m terakhir menuju 1.9K saya sudah kehabisan nafas bagai Ona Sutra gagal menyanyikan lagu Mariah Carey. Perlu dikasihani.
Kawan, berenang di laut dan susah tidur sebelum race triathlon sudah bagai Krisdayanti dan Raul Lemos, bagian yang susah dilepaskan satu sama lain. Untungnya swim leg di SUT ini dilakukan di kolam renang bukan dilaut seperti race triathlon pada umumnya. Bayangkan, jika sedang swim leg di laut untuk sekedar pegang buoy saja antrinya sudah seperti pembagian zakat fitrah di masjid Istiqlal, berdesak-desakan mengancam nyawa. Kalaupun sempat pegangan buoy, dibelakang biasanya sudah antri sambil dorong-dorong kaya mau cium hajar aswad. Nah enaknya di SUT ini kita kapan saja bisa menepi di ujung kolam untuk sekedar jeda sebentar, mengambil nafas dalam-dalam, sambil cek IG lambe turah atau hingga belanja online. Namun hati-hati, di SUT ini fotografer pujaan wanita&kesayangan pria seperti Cieko siap menjepret momen-momen aib apa saja, seperti ketahuan berjalan di kolam, pegangan tali pembatas atau garuk-garuk kemaluan teman.
Masuk bike leg, saya dihadapkan pada 2 kenyataan : minta berhenti menjadi peserta yang DNF atau lanjut bike leg dengan resiko pisah ranjang. Saya izin ke istri ikut SUT ini hanya sebagai peserta latihan bersama, sekali lagi bukan race kompetitif. Latihan bersama menurut kamus rumah tangga saya paling lama 3-4 jam izin tanpa surat, hanya anggukan penuh multiinterpretasi. Mengenai COT 8.5 jam ini saya sengaja sembunyikan sebagai alasan pamungkas para pria yang pernah mendapatkan pelajaran PSPB kalau di tanya istri : “aku juga baru tahu, maaf“. Entah karena firasat keibuan atau entah firasat badan intelejen kali ini istri saya tumben-tumben nya ma ikut hadir di “latihan bersama” ini. Siyal.
Kembali ke bike leg, satu loop di SUT ini setara 5Km, artinya saya harus menghabiskan 18 putaran untuk mencapai jarak hingga 90Km. Ingat 18 keliling. Peribahasa pusing 7 keliling tidak sampai setengahnya di SUT ini, ini 18 keliling bung!. Pada loop 1-3 istri saya masih mau bertepuk tangan memberikan semangat, mengacungkan jempol dan tersenyum lebar seperti baru menerima uang bulanan, tampak romantis bukan? Dari kejauhan dia tampak seperti Sophia Latjuba versi Syariah, saya Indra lesmana versi dangdut, kami pasangan serasi namun rawan perpecahan.
Masuk loop 5, 6, 7 power saya masih prima dan bisa diandalkan dengan sangat prima, saya masih bisa tebar-tebar senyum ke Istri saya yang masih setia menunggu di garis start, walau sekarang dia lebih mirip komandan Polwan yang sedang mengintai judi sabung ayam, wajah kesal menunggu dan siap menerkam. Masuk loop 11, 12 dan seterusnya saya sudah menjadi peserta upacara bendera pada bagian mengheningkan cipta, tertunduk lesu dan tak bersuara. Saya baru menyelesaikan bike leg 90K total hampir 4.5 jam. Saya sudah tidak berani lagi menyapa satu-satunya cheering point yang saya punya di event ini. Seringainya sudah mirip guru BP yang telat gajian, mendekatpun saya ga berani. Sebagai golongan awam dan penuh ampunan, saya layak untuk diampuni. Untuk tidak masuk ambulans pun sudah sangat mengurangi beban ketertiban jalannya acara SUT ini. Kuhibur polwanku seperti itu, dia mengerti namun tidak mau mengulangi. Saya tidak jadi pisah ranjang.
Kawan, salah satu godaan terbesar di SUT ini adalah rasa bosan, bayangkan kami ngeloop sepeda 16 keliling, dengan tanjakan yang sama, pemandangan yang sama, cheering point yang sama, istri yang sama. Kemudian rasa bosan ini harus saya lanjutkan di runleg dengan walau dengan putaran yang berbeda. Tapi pemadangannya sama, cheering point yang sama, istri yang sama dengan tampak yang berbeda-beda. Di run leg saya harus menyelesaikan 4 loop lebih sedikit atau total 21.1 Km. Pada 5 Km pertama saya masih bisa berlari layaknya laki-laki normal : tenang, berwibawa dan waspada. Waspada dari gangguan begal, hantu, agen asuransi dan pedagang MLM. Loop 2 atau masuk 10K karena hari semakin malam saya mulai takut hantu, karena ternyata saya harus melewati beberapa titik aga gelap dan sepi yang luput dari pengamatan marshal. Seharusnya saya lari bersama istri saya, pasti hantu yang takut.
Loop 3 saya mulai takut begal, saya tak punya lagi tenaga ekstra untuk melawan jika begal-begal itu hendak merampok jam tangan, sepatu atau bahkan trisuit saya. Di saat-saat kritis inilah saya bertemu Dika dari G10triathlet, ada Dimas Gotri dan 2 teman lagi dari Bintaro runners. Seperti kata pepatah, 1 orang takut + 2 orang takut = 3 orang pemberani. Bersama mereka berlari bersama layaknya tentara Amerika kena ranjau darat di perang Vietnam, tertatih-tatih tapi tetap tampak heroic. Masuk loop 4 kami berlima sudah kepayahan. Saya menemukan pepatah baru, 1 orang triathle di KM 15 + 2 orang triathlete di km 15 = 3 ibu-ibu habis operasi sesar. Lemah dan pasrah. Yang satu pegang pinggang, yang satu meringkih, yang satu usap-usap perut tanda lapar. Kalaupun saat itu dicegat begal, saya sudah tidak bisa melawan lagi, saya hanya minta trisuit saya jangan diambil, karena saya tidak pakai celana dalam.
Sampai lah di 1 km terakhir menuju garis finish, Dika dan teman2 dari Bintaro runners sudah lari tunggang langgang kembali, sementara saya dan Dimas masih mencoba berlari dengan rasa sabar, tawakal, lemas & penuh doa. Di garis finish sana lah puncak rasa khawatir saya melebihi takut pada begal dan hantu, yaitu Sophia Latjuba ku yang sudah menunggu sekitar 8.5 jam. Selesai finish, saya kemudian di datangi Om Farhan, Coach sekaligus penasehat The Cunihin yang selalu mengajarkan bahwa kita harus mengutamakan 2 hal di dunia ini (i) Tuhan Yang Maha Esa (ii) Mertua yang maha berkuasa. Andai saja saya kabareskrim, Om Farhan sudah saya kenakan pasal perbuatan criminal ringan karena dialah sesungguhnya agen MLM utama yang menjebloskan saya menjadi downline nya di triathlon ini.
Akhir kata, Saya menyatakan tidak akan pernah ikut SUT 2018 lagi, saya kapok dan merasa tertipu. Saya akan ikut SUT 2019 bersama golongan orang-orang yang butuh hidayah lain nya. Saya mendoakan Om Paulus (Race Director )& Kuch Chaidir Akbar (ketua Tribuds) sebagai penyelenggara SUT 2018 diberikan kesehatan, kesempurnaan, keamanan, kebersihan dan kebahagaiaan selalu sehingga kami tetap bisa dijalur hidup yang salah ini. Jangan lupa tahun depan ajakin Vicky Prasetyo, biar kita masuk infotainment.
The Cunihin
sukria21
#Bersambung

Sunday, December 10, 2017

Saya & Pariaman Triathlon 2017

*) Bacaan untuk para virgin Triathlon (2)
Kawan,
Setelah menjadi mualaf triathlon di Balitri, sebetulnya saya belum pede-pede amat untuk kembali ke race triathlon. Namun, atas diskusi dengan teman-teman penggoda iman triathlon seperti Binbin, Om Farhan, Kapten Renato dan apalagi coach Idir ahirnya jari saya tergerak untuk mengklik form pendaftaran Pariaman Triathlon.
Saat isi form pendaftaran sebetulnya pikiran saya dipenuhi bayangan manis mencapai garis finish, dimana disitulah saya merasa gagah, optimis dan beriman, seperti rocker idola kenamaan yang selalu menguasai tangga lagu Album Minggu Kita : Hari Moekti. Namun setelah selesai saya mendaftar pariaman triathlon tersebut, saya liat kalender ternyata waktu tinggal 2,5 minggu lagi menuju race. Tiba-tiba saya dirundung kombinasi perasaan deg-degan, khawatir, antusias tapi bimbang, mirip situasi saat dapat bisikan : “mas, aku telat..”.
Dua minggu sebelum race, saya ikut Triathlon Relay (saya kebagian bike leg) dan juga Borobudur Marathon (HM), namun saya tetap merasa butuh latihan simulasi yang menggabungkan semua renang-sepeda-lari, terutama renang, ya renang. Untuk lari saya ga jelek-jelek Amat lah, toh kalaupun cape bisa jalan. Sepeda ? saya merupakan golongan MATADOR (MAnggih TAnjakan, DOrong..!) jadi amanlah untuk bertahan hidup di bike leg. Tapi untuk berenang apalagi di laut, saya butuh seseorang yang bisa memberikan arahan sekaligus menenangkan batin. Oleh karena itu saya temui dan ajak latihan mas Willy Pratama, pria penuh kata bijak yang dalam darahnya tidak pernah mengalir rasa iba terhadap pemula triathlon seperti saya, sehingga saya dapat ditempa dengan baik. Lalu seperti biasa kami bersimulasi triathlon di Padepokan Voli (aneh bukan?) di Sentoel. tanpa latihan Voli tentunya.
Pada latihan itu mas Willy ditemani Mas Toni, Ironman yang sudah makan asam garam race triathlon local&internasional, yang memberikan masukan tentang kemampuan berenang saya. Kesimpulan berenang saya dianggap masih belum baik, tangan kiri masih kaku dan tidak baik untuk jarak jauh. Alih-alih mendapat ketenangan batin, latihan ini malah membuat saya butuh diruqiah, karena tambah takut. Betapa tidak, saat Balitri saya hanya menyelesaikan 500m swim leg, tapi di Pariaman ini saya harus menyelesaikan 750m. Lalu teman-teman yang ikut pariaman juga beropini bahwa Pariaman ini kategori lautnya samudra, ombaknya besar arusnya kencang, serta pantainya dalam membuat kaki gak bisa napak tidak seperti di pantai sanur. Lalu rasa takut saya makin mendapat tempat dan terus mengumpulkan pasukan. dan Hari Moekti pun berubah menjadi Daus Mini.
Biasanya untuk mengalihkan ketakutan dan membunuh rasa pesimis, maka saya akan baca buku-buku yang perjuangan yang dapat membangkitkan motivasi & optimism. Unutk kali ini saya baca buku “Untuk Negeriku” (Autobiografi M. Hatta), “Ku Antar Kau ke Gerbang” tulisan tentang Inggit Ganarsih karangan Ramadhan KH. dan terakhir “Budidaya Itik di lahan sempit” (Majalah trubus). Sedangkan latihan renang ? saya alfa terus hingga saatnya race tiba.
Tibalah hari race, rasa takut saya belum juga hilang, bahkan melihat ombak dan deburan sura pantai, hati makin ciut ga karuan. Lalu priit.. bendera start dikibarkan.
Pada swim leg 250 meter awal menuju buoy pertama, ombak pantai di pariaman ini terlihat cukup tinggi sehingga membuat hubungan para peserta triathlon dengan laut bagai Barry prima lawan Advent bangun dalam film “Darah Perjaka” : saling serang, saling berbalas jurus dan menyelamatkan diri masing-masing. Lalu sosok yang manakah saya dalam adegan ini? Advent bangun yang jahat namun kuat? bukan. Barry prima sosok pahlawan yang punya banyak jurus ilmu? bukan.
Saya adalah peran Mak Uwo : Pemeran pembantu, sosok lemah, sabar dan penuh sopan santun. Saya terima saja apa adanya saat ombak menghantam badan, tidak berusaha untuk berenang gaya apapun, toh pantai masih dalam jangkauan tinggi badan saya untuk berjalan. Saya mencoba mempraktekan wejangan Coach Idir untuk menghadapi ombak tinggi ini : hadapi serelax mugkin, tidak terburu-buru dan tidak lupa berdoa. Relaks dan tidak terburu-buru ini lah yang menjadi kunci saya dalam bersopan santun terhadap ombak. Saya ikhlaskan peserta lain terbirit-birit lari dan berenang menerjang ombak, sedangkan saya berjalan pelan-pelan sambil tak henti berdoa. Doa-doa terpanjatkan mulai dari Doa selamat dunia akhirat, doa nabi yunus saat di perut ikan paus dan tidak ketinggalan doa untuk istri agar segera disadarkan untuk mengembalikan ATM.
Barulah setelah kedalaman laut diluar jangkuan tinggi badan saya, saya pelan-pelan berenang dengan gaya andalan wajib yaitu gaya anjing laut. Sedangkan gaya katak masih menjadi sesuatu yang sunah, sesekali saya kerjakan. Gaya bebas ? lupakan, ini masih makruh buat saya dalam menggapai buoy yang pertama. Saya khawatir dengan gaya bebas tenaga saya habis duluan.
Pada 250 meter kedua saya hanya berusaha sekuat tenaga agar mencapai buoy kedua, terpujilah orang yang memasang tali pada lomba ini, saya sesekali berpegangan pada tali untuk tetap menyelamatkan nafas dan terutama mengusir rasa minder terhadap luasnya lautan. Barulah di sini saya sadar, bahwa penyanyi dan pencipta lagu dangdut manapun yang selalu bilang “luasnya samudra kan kusebrangi..” adalah tipuan gombal murahan. Saya doakan suatu hari nanti mereka ikut race triathlon agar mereka tahu berenang 750m di lautan itu lebih susah dari sekedar goyang drible trio macan tiga hari tiga malam.
Setelah mencapai buoy yang kedua, tibalah saya pada 250m yang terakhir. Pada fase ini hubungan saya dan laut lambat laun seperti duet Tri Utami dan Uthalikumahua : damai, penuh harmoni dan saling menolong. Walau berenang tetap belok-belok tidak bisa lurus sesuai rencana kerja, namun dorongan ombak ke pantai membantu saya untuk gagah berani mempraktekan semua gaya berenang yang saya pelajari. Akhirnya lolos juga saya pada hadangan pertama ini dengan penuh rasa bangga, dada membusung, gagah berani, namun tetap menjalankan ajaran orde baru : seimbang antara penguasaan iptek dan imtaq (iman dan taqwa).
Setelah saya cek ternyata saya adalah 4 orang terakhir yang keluar dari pantai bersama Mba Diana Sevi, Kapten (pilot) renato dan Pramugara idola para pria tomboy : Michael Butar-butar. Peserta lain ? sudah jauh di depan.
Masuk bike leg, target saya mulai ambisius yaitu mengejar ketertinggalan dari peserta lain, terutama mentor saya yang sudah jauh di depan menyelesaikan swim leg yaitu Om Farhan. Om-om ganteng yang memilih cunihin sebagai jalan hidupnya*)
*)Atas inspirasi cunihin ini, saya-coach Idir-om Farhan membentuk Trio The Cunihin. Target utama dan target satu-satunya cunihin kami adalah istri kami masing-masing, dengan visi mulia kami bagi kaum pria Indonesia : mempertahankan keberadaan ATM tetap ditangan suami.
Pengalaman saya dikalahkan di bike leg secara telak di Balitri, dan pengalaman baik saya mengalahkan om Farhan saat triathlon relay di Spring, membuat bike leg di pariaman triathlon ini sebetulnya layak dinanti untuk dicari mana yang lebih unggul seperti pertarungan antara Mcgregor vs Mayweather, McDoohan Vs Max Biaggi atau Hamdan ATT vs Meggi Z.
Namun apa dinyana, pemandangan indah Pariaman di jalur bike leg ini melupakan ambisi saya. Saya terpana pemandangan indah Pariaman.
Ingat lyric lagu anak “…Sawah hijau terbentang, bagai permadani di kaki langit..Gunung menjulang, berpayung awan ..oh indah pemandangan “ lirik lagu Memandang Alam Ibu Sud ini jelas adanya di Pariaman. Pemandangan ini istimewa, bahkan jika dibanding dengan kota Bandung-kota kelahiran saya-, Pariaman ini lebih layak untuk disematkan predikat BERHIBER –BERsih, HIjau, BERsawah indah-. Jalan pun mendatar, mulus dan tanpa bolong-bolong layaknya kulit wajah artis Ruben Onsu.
Saya sadar betul di bike leg saya disusul oleh banyak pembalap kelas OD (Olympic distance), namun tetap saya biarkan. Saya lebih memilih menikmati pemandangan indah ini. Walaupun saya kejar, perbandingan kecepatan mereka dengan saya juga seperti perbandingan kecepatan kenaikan pendapatan saya dengan kecepatan kenaikan harga tanah di pondok indah. Ga seimbang dan jauh panggang dari api.
Alhasil bike leg ini gagal memberikan prestasi buat saya untuk mengalahkan pesaing terdekat saya, om farhan. Catatan waktu kami identik 42 menit.
Masuk run leg, saya tidak menghabiskan waktu di transisi untuk hal-hal gak penting seperti balas whatssap istri “lagi dimana, lagi ngapain”, baca-baca brosur Meikarta atau senam SKJ 88. Saya hanya berganti sepatu sepeda ke sepatu lari, ganti topi, makan sepotong soyjoy dan suplemen herbal Fituno (camkan, ini iklan). Lalu go..!, saya lari mengejar ketertinggalan di swim dan bike leg. Walau catatan lari saya masih kalah jauh dari manusia-manusia keturunan kijang istana Bogor, seperti Yth. Om Joni, trio SNP (Tirfan-Mba Narita-Riyo), apalagi Coach Idir, namun saya dapat menyelesaikan run leg 5K dalam 29 menit dan berhasil menyusul Om Farhan di km kedua. Atas pencapaian ini, rasanya saya layak diberikan penghargaan oleh sesepuh Ikatan Remaja Mesjid Al-Muawanah, Jalan Sersan Sodik-Bandung, tempat saya menyelesaikan pelajaran Iqro 1 sampai Iqro 3.
Teman, percayalah. Bertriathlon bukan saja membuat kita semakin sehat, namun solusi cepat untuk menghafalkan doa-doa sekaligus mendekatkan diri pada Ilahi. Latihan rajin dan disiplin adalah kunci agar kita bisa finish dengan bahagia, tanpa cedera dan tetap bertaqwa.
__Bersambung__
RGI. 101217. Cibubur.