Tuesday, June 18, 2019
Saya dan Bangsaen 70.3
*) Bacaan bagi para virgin tri
(Bagian 4)
Kawan,
jika ada seseorang mantan profesional marketing yang kena tipu propaganda marketing tingkat dasar&pemula, maka orang itu adalah saya sendiri. Bagaimana tidak, hanya karena tergoda isi propaganda murahan di halaman depan website, rusak sudah martabat ini dipecundangi race 70.3 Bangsaen-Thailand.
Begini sebagian bunyi propaganda sialan tersebut :
Why race with us ?
• Flat water with a temperature of 24-27 degree Celsius
• Easy to achieve a personal best in the bike course
• Enjoyable run course
• Great Hospitality
• Easy access from Bangkok City - only a 60 minutes drive
• Many special activities during the weekend
• Enjoy Thai food and traditional massage
• Enjoy shopping in Bangkok or spend nightlife in Pattaya city after finishing the race
•Our favorite race in Thailand
sumber:http://asia.ironman.com/triathlon/events/asiapac/ironman-70.3/bangsaen.aspx#axzz5q4pbkbVg
Tiga point teratas sudah cukup membuat triathlete minim skill dan penuh ampunan seperti saya menjadi yakin untuk ikut berpartisipasi. Ditambah bisikan-bisikan para suhu triathlon kelas diamond macam Kuch Chaidir akbar dan hipnotis tingkat Uya Kuya oleh Rudy Winarto, saya semakin termotivasi untuk daftar tanpa tekanan dari pihak berwajib manapun. Triangle kata-kata dalam website (i)Flat water (ii) Easy to achieve a personal best in the bike course dan (iii)Enjoyable run course adalah segitiga illuminati dalam bentuk nyata dan penuh tipu daya, dimana tambahan kalimat “Our favourite race in Thailand” merupakan lingkaran mata dajjal yang membuat saya terpana dan lalu tunduk patuh menjadi pengikut jamaah al-Bangsaeniyah 70.3.
Saya mengisi berlembar-lembar form pendaftaran race tanpa rasa gentar, tanpa sedikit pun terpengaruh propaganda marketing basic tingkat II seperti “senin harga naik”, “beli sekarang gratis AC” atau “bayar sekarang, Istri menjadi muda”. Saya membayar biaya race tier 2 dengan penuh aroma kemenangan, optimistik dan sedikit angkuh. Setelah mendapat email konfirmasi lolos sebagai calon peserta, saya pun mendownload lagu-lagu yang dapat mempertahanakan optimisme dalam menatap masa depan di race Bangsaen 70.3 seperti “bangun pemuda pemudi”, “garuda pancasila” dan “ingat siksa kubur”.
Persiapan Race
Dengan kondisi Bangsaen yang menurut catatan website nya flat water, saya tidak memfokuskan latihan di berenang, toh saya pernah menyelesaikan race Cebu 70.3 yang jelas-jelas tidak flat, berarus kencang dengan peserta yang sesak ramai mirip acara istigozah NU, padat dan khidmat. Di atas kertas, jika di Cebu saja lolos harusnya saya lolos di Bangsaen dengan mudah, minimal karir saya tidak mentok di swim leg. Untuk itu, persiapan berenang saya kerjakan menu latihan sekitar 8-10Km per bulan selama 3 bulan, itupun sering saya jama-qosor.
Sesunggunya dalam berenang isunya adalah teknik, karena toh memperbanyak mileage berenang dengan teknik yang salah malah akan membentuk muscle memory yang salah, yang justru akan semakin sulit untuk memperbaiki ke arah yang husnul khotimah. Berkaitan dengan hal tersebut, saya memilih berteman dengan mantan motivator gagal dan sekarang menjadi pegawai sipil Amerika Serikat, Adi Mulyadi. Dia bersama rasa tulus dan ikhlas yang tertanam rimbun dalam dirinya pernah memberitahu saya tentang “10 kesalahan dasar dalam berenang bagi pelajar pemula dan pramuka tingkat siaga”. Dan kita pun bertemu. Lalu di depan mata kepala saya sendiri Adi Mulyadi mempraktekan kesalahan-kesalahan dasar tersebut : seperti stroke terlalu cepat, nafas terburu-buru, kicking tidak efektif serta terlalu jujur sama istri.
Jelas hal ini menambah pengetahuan dan cakrawala saya. Namun sayangnya, pada saat sesi tanya jawab saya minta agar dia mempraktekan teknik yang benar, Adi Mulyadi tidak berkenan menjawab karena tidak merasa kompeten : “karena bukan spesialis saya”, katanya. Sungguh waktu yang sia-sia bagi mata kepala saya sendiri.
Saya memilih memperbanyak latihan bersepeda. Cita-cita saya tidak semuluk Atta Halilintar untuk tembus 20 juta subscriber, tidak sehebat Pak Jokowi yang ingin membangun 5000km jalan tol, tidak seambisi Pak Prabowo agar Indonesia menjadi macan Asia. Saya hanya bercita-cita meningkatkan avg speed dari 24.21 km/jam saat race cebu menjadi 28 km/jam saja di Bangsaen ini. Sehingga menurut perhitungan di atas kertas, jika di cebu saya menghabiskan waktu 3 jam 41 menit, maka di Bangsaen saya berharap menjadi sub 3.30 menit. Itu saja. Muluk-muluk ? tidak. rasional ? tentu saja belum tentu. Semua tergantung usaha, doa dan sesuai pepatah : laki-laki hanya berencana, perempuan keburu curiga.
Oleh karena itu, untuk mendukung pencapaian cita-cita tersebut saya giat melatih endurance di atas statis dumbtrainer, melatih handling dan menguatkan power di loop argenia sentoel, serta menghapal doa-doa pendek, seperti doa selamat diperjalanan dan doa agar tidak takut mertua.
Bagaimana dengan persiapan lari yang akan tempuh dalam bingkai “Enjoyable run course”. Kawan, rasanya kata enjoy itu tidak ada perubahan yang berarti dalam Bahasa Indonesia, semuanya bernada positif : nikmat – menikmati, dipakai untuk keadaaan yang membuat happy, nyaman dan menyenangkan. Jadi kata-kata “enjoyable run course” dalam cepat-cepat saya terjemahkan sebagai “pokonya bagian lari nya enak, sejuk, pemandangan indah dan latihan secukupnya tidak berlebih-lebihan, karena ini hanya urusan dunia yang fana.” Jadi latihan lari saya banyak dihabiskan untuk menjaga kebugaran saja, target sebulan menghabiskan 100Km selama 2 bulan. Ini pun sering kali alpa, karena saya punya hubungan kekeluargaan yang kurang baik dengan bangun pagi.
Tiba di Bangsaen
Sampailah saya di Bangsaen bersama pasangan triathlete berbudi pekerti, berakhlak mulia, berpendidikan tinggi, dan jamaah fanatik lambe turah : Verania Andria (Rara) dan Abdul Wahib (Ucok). Keduanya PhD. Kami menyewa mobil double cabin dari Suvarnabhumi airport dengan perjalanan mencapai Bangsaen ditempuh dalam 60 menit, sesuai apa yang disampaikan di website. Sungguh merupakan informasi dari website yang akurat dan berakhlak luhur.
Kota kecamatan ini Bangsaen tidak lebih tidak kurang seperti Pangandaran, selain memang kotanya kecil, pedagang kaki lima sepanjang pantai, juga karena dimana-mana saya bertemu dengan orang Indonesia. Ya, Indonesia menjadi penyumbang peserta ke-4 terbanyak di race ini. Di acara check in sepeda saja, saya tak henti hentinya bertemu dengan sesama orang Indonesia. Kita saling bertegur sapa, salam-salaman dan selfi-selfi. Mirip bubaran Solat Id. Bangga sekali saya menjadi orang Indonesia yang sudah teruji penuh keramahtamahan, kekompakan, persaudaran, dan tentu saja berteman baik dengan rasa sabar. Kalau pun tidak bisa mengatasnamakan satu bangsa, setidaknya sifat-sifat tersebut mewakili saya sendiri.
Rasa sabar tersebut pertama-tama saya tabung saat kunjungan ke mekanik sepeda. Sadar atas kemampuan membongkar sepeda jauh lebih baik daripada memasangnya maka saya putuskan untuk memasang sepeda dibantu para mekanik yang mulia. Setidaknya ada 10 pos mekanik. Saya datangi mekanik no 10 yang kelihatannya sangat serius, focus, tidak banyak bicara namun banyak bekerja. Mirip rampok Indomaret. Tampakan mekanik ini seperti orang Thailand kebanyakan, sedangkan gaya rambutnya sedikit mirip Mukhsin Alatas.
Walau saya dapat antrian ke-6 namun saya sabar. Saat tiba giliran sepeda saya dipasang, sang mekanik dengan sigap tanpa babibu, tanpa bicara satu kata pun, tanpa Assalamualaikum, tanpa memanjatkan puji syukur atas kehadirat Alloh SWT, dia langsung mengerjakan pemasangan sepeda saya. Ga sampai 15 menit sepeda saya terpasang tegak berdiri seperti habis minum viagra. Namun saat tiba giliran memasang rantai dan koneksi shifter DI2 nya, sang mekanik itu rautnya mulai berubah seperti orang Uganda yang tersesat di Ciroyom, tertegun dan diam seribu Bahasa. Jika ditambah kebisuan dia dari awal dia bekerja maka total jadi diam duaribu Bahasa. Dalam kebisuan itu saya tidak berusaha bertanya untuk sekadar basa basi, tidak juga menawari minum, atau sekedar bertanya berapa harga tanah per meter di Bangsaen atau menawarkan singgah ke rumah saya di Bandung, bagaimana biasa sebagai keramahan orang Indonesia pada umumnya. Toh saya bicara pun belum tentu dia bisa mengerti. Setelah sekitar 10 menit dia tertegun sambil sekali-kali mencet-mencet shifter DI2 dan menguatkan kabel-kabel sepeda saya, dia menoleh ke saya dan bertanya dalam Bahasa Thailan yang artinya kira-kira : “ini sepedah anda?”, lalu saya jawab dengan dua suku kata paling universal di dunia ini selain “oh no”, yaitu : “Oh Yes”.
Sadar saya tidak bisa berbahasa Thailand, dia tidak berminat meneruskan percakapan dengan saya dan lalu memanggil temannya yang bisa menerjemahkan ke dalam Bahasa Inggris. Mungkin agar saya menjadi mengerti, ah sungguh suatu niat baik costumer service yang ekselen. Lalu Muchsin Alatas itu menerangkan kepada temannya dalam Bahasa Thailand tentang keadaan sepeda saya. Selesai mendengarkan panjang lebar mekanik pertama dan tanpa memberikan feedback yang berarti, mekanik kedua ini menyampaikan ulang kepada saya. Saya siap mendengarkan penjelasan ini dengan sangat patuh dan tidak menginterupsi seperti akan mendengarkan ceramah subuh Zainudin MZ. Kali ini teman Muchsin alatas ini menerangkan hanya dalam 2 kallimat saja : singkat, padat, tidak jelas. Selesai dia bicara saya menjadi sedih dan haru. Sedih karena saya tau shifter DI2 sepeda saya macet tidak bisa diperbaiki,artinya saya akan bersepeda nanti dalam gear yang fix, tidak bisa pindah gigi. Haru karena mekanik yang kedua ini pun berbicara dalam Bahasa Thailand!! Ya Alloh, kenapa kau ciptakan dua orang Thailan ini begitu penuh birokrasi.
Race
Tiba juga pada race. Suasana di transisi sepeda seperti halal bihalal di kantor BUMN, masih salam-salaman, ramai dan tidak lupa foto-foto bersama setiap angkatan. Bedanya kemeriahan ini ditemani rombongan rasa tegang, perasaan yang biasa terjadi saat menjelang start triathlon atau saat hape dipegang istri.
Kawan, saya dan rasa sabar di Bangsaen ini mendadak jadi sahabat karib. Selain shifter DI2 sepeda yang sudah divonis macet, menjelang start ini saya mendapati ban depan sepeda saya bocor, sedangkan 10 menit lagi gate transisi akan ditutup. Tanpa mau ambil resiko, setelah berkonsultasi dengan Kuch Chaidir Akbar, saya putuskan untuk memohon pertolongan mekanik yang stand by di daerah transisi. Saya menemui dua mekanik dengan mukanya sama-sama cemberut, asam dan muram. Tuhan menciptakan orang Indonesia saat tersenyum, tapi mungkin menciptakan 2 orang Thailan ini saat sembelit.
Puji syukur saya panjatkan, mekanik ini dengan sigap menggantikan ban dalam sepeda saya, cepat sekali. Sebelum saya sampaikan ucapan terimakasih dan memanjatkan doa terbaik agar mekanik itu : (i) dibalas segala amal kebajikannya (ii) dimudahkan jodohnya (iii) dilancarkan rezekinya dan (iv) dikaruniain istri yang tidak cepat menghabiskan rezeki tersebut, dia buru-buru menyuruh saya cepat balik ke pos sepeda saya. Saya pun langsung berlari dorong sepeda sambil tetap memanjatkan doa-doa tersebut. Pekerjaan ganda yang tidak sesulit berlari sambil berwudhu.
Start swim leg ini dengan system wave 3 orang – 3 orang. Ketegangan memuncak. Giliran saya maju start dan kemudian tangan petugas diangkat yang menandakan giliran saya masuk ke ruang sidang laut Bangsaen. Saya diajari oleh para senior triathlon untuk tidak terburu-buru berlari menuju laut agar HR terkontrol dan tetap tenang. Saya mempraktekannya dengan yakin. Ini adalah race triathlon ke-7 kali saya di laut, saya yakin laut sudah mengenal baik saya dan mau berkolusi untuk mengantar segera ke garis finish.
Namun Kawan, di duaratus meter pertama berenang ini saya kelimpungan. Ombaknya galak kaya Reni Jayusman. Agresif bak Mike Tyson baru dengar adzan magrib buka puasa. Saya kena hook berulang-ulang tanpa sempat ambil nafas, kepala pusing, ulu hati mual, saya tersudut dan hampir-hampir TKO. Untung saya sempat pegangan tali untuk menenangkan diri dan mengambil nafas panjang. Jarak pandang laut ini hanya sejauh ujung jari saya meregang, saya sadar telah ditipu website gratisan sialan. Namun Tidak ada pilihan lain kecuali saya tetap terus berenang menyelesaikan jarak hingga 1,9 Km. Namun stroke gaya bebas saya semakin lama semakin lemah, nafas sudah semrawut, air laut berbondong-bondong bersilaturahmi ke dalam perut saya. Saya menyesal ikut Bangsaen 70.3 ini. Jika saya dibolehkan memilihkan azab untuk seseorang yang nulis Bangsaen ini adalah flat water, maka saya pilihkan judulnya : “Azab seorang suami kena disentri karena hape nya diperiksain istri setiap hari dan whatssap nya tidak punya mode clearchat”.
Saya menghabiskan waktu di swim leg 55 menit. Finish berenang saya terhuyung menuju ke transisi sepeda dengan keadaan kepala serasa sebesar Ahmad Albar tidak cukuran 5 tahun, tangan pegal serasa habis dorong tractor mogok, badan lemas ter-demotivasi seperti baru terima kabar bahwa istri datang bulan. Belum selesai merasakan & mengingat-ingat hasil perjuangan di laut, di perjalanan menuju transisi saya teringat keadaan shifter DI2 sepeda saya yang macet, ban dalam yang sempat bocor dan cicilan KPR yang ga selesai-selesai. Semakin mual.
Memulai bike leg, tidak lupa saya mengucap bismillah dan doa nabi nuh menerjang air bah. Sepertinya penempatan doa yang salah, harusnya saya membaca itu sebelum nyebur ke laut. Tapi saya tidak menemukan doa lain yang lebih cocok lagi untuk memulai sepeda dalam keadaan kenyang air laut.
Saya sebetulnya mengawali bike leg ini dalam perasaan yang optimis karena hasil meningkatkan porsi latihan sebelumnya dan berbekal “Easy to achieve a personal best in the bike course” walau fisik carut marut. Selepas mounting point, saya bersepeda seperti genk motor lolos kena tilang polantas, lega dan gembira ahirnya bisa lepas dari laut. Namun kawan, 10 Km pertama bike leg ini seperti lewat di komplek perumahan ABRI tahun 70an, banyak speed trap dan polisi tidur. Alhasil bidon di aerobar saya jatuh. Ini ujian yang ketiga berkenaan dengan sepeda saya setelah DI2 dan ban bocor. Untungnya selama di Bangsaen ini antara saya dan rasa sabar sudah menjadi satu bingkai persaudaraan dan persatuan yang saya sudah terpaksa terima dengan lapang dada. Total 3 jam 22 menit saya tempuh jarak 90Km bike leg, alhamdulillah di bike leg saya berakhir menyenangkan dan husnul khotimah.
Masuk ke run leg, saya melihat teman-teman dari Indonesia sudah ada di transisi untuk bersiap-siap lari. Ada Om Agung Triharyadi dari Depok, Pak Deky Wahyu pemilik Gym D’Three spesialis pencetak otot ikal dan bergelombang, dan teman seperjalanan saya Abdul Wahib Phd. Tidak lupa kami foto selfie dulu sambil bersepakat mengeluh tentang panas matahari yang semakin siang semakin sok akrab. Suhu Bangsaen Panas 36C, bila naik 2 derajat lagi kota kecamatan ini harusnya ditaburi paracetamol biar reda.
Tapi diam-diam saya memendam motivasi yang tinggi untuk berlari, setinggi seperti ketika mendengar kabar istri sudah selesai masa nifas. Saya masih punya sisa waktu 4 jam untuk berlari 21.1K menuju batas akhir waktu maksimal (COT).
Run leg ini terdiri dari 3 putaran, dimana satu putaran berjarak 7km. Jika sesuai dengan info website yang “Enjoyable run course”, maka 1 putaran teridiri atas 1 kali enjoy, berarti secara teori, kita akan mendapatkan nikmat & pahala duniawi sebanyak 3 kali total enjoy. Namun kawan, yang terjadi ternyata siksaan duniawi sebanyak 24 kali. Bagaimana tidak, dalam satu loop di Bangsaen yang enjoy ini kita melewati 3 tanjakan curam, 2 tanjakan melandai, dan 3 turunan curam.
Kawan, jika kau anggap berlari di turunan curam setelah bersepeda 90 Km bukan siksaan duniawi, maka cobalah pergi menemui mas Agung Herkules, lalu minta beliau jatuhkan barbelnya ke pahamu sebanyak 33 kali. Maka kau akan merasakan otot paha seperti ager-ager jelly drink. Sementara itu lutut dan tempurungnya bagai hubungan 15 tahun pernikahan, bawaannya mau copot. Dan ini semuanya dilalui dalam keadaan matahari seperti Selly Marcelina di umur 26 tahun, sedang hot-hotnya.
Kawan, ada momen-momen rute dimana kita berpapasan 2 arah antara pelari depan dan pelari belakangan. Momen dimana kita berada sebagai pelari di belakang itu rasanya pedih kawan. Dan itu saya alami ketika berpapasan dengan agen MLM triathlon tidak terpuji, pelaku hipnotis kepada para mualaf triathlon untuk “klik race”, anggota the cunihin tanpa selektif jenis kelamin, siapa lagi kalau bukan Rudy Winarto. Ini kali kedua saya terkena bujuk rayu Rudy untuk ikut race yang nyata-nyata jauh dari nilai-nilai perikemanusiaan dan perikeadilan.
Masuk loop 2 run leg adalah masa dimana saya merasa semakin sok akrab dengan Tuhan, saya sangat jarang untuk menangis di tengah malam salat tahajud, bukan karena saya hamba yang kuat hatinya, tapi karena saya tidak pernah terbangun. Tapi diloop 2 ini saya memohon dengan tulus, mau menangis rasanya karena panasnya kebangetan. Saya memohon agar ditolong seperti Nabi Ibrahim saat didinginkan apinya saat dibakar raja Namrudj. Maka, kun fayakun, Bangsaen malah semakin panas. Saya lupa teks doanya.
Di loop 3 saya mendadak tidak tahu bedannya lari dan jalan kaki, karena perasaan cape nya sama saja, sesaknya sama saja, kecepatan nya sama saja. Saat jalan capenya seperti lari, saat lari pace nya sama seperti jalan. Sebetulnya saat sejak loop 2, saya hampir selalu berbarengan dengan satu rombongan terdiri atas 1 orang perempuan dan sekitar 10 orang laki-laki, belakangan saya tahu perempuan itu adalah putri raja Thailan sedangkan sisanya adalah pengawal-pengawal kerajaan. Sepanjang berlari, para pengawal itu menyanyikan lagu-lagu mars yang indah sekali liriknya, sayangnya saya tidak mengerti artinya. Terinspirasi mereka, di loop 3 ini saya coba untuk menyanyikan lagu-lagu untuk menolong motivasi saya yang mulai lupa akan tugasnya, seperti lagu “Tuhan” karya Bimbo, “perdamaian” dari Nasida Ria ditutup dengan lagu bergumam dari Nisya Sabyan. Tepatnya saya sudah mendekati halusinasi.
Tuhan bersama orang-orang yang selalu mengisi ulang buah-buahan dan air di water station, karenanya saya selalu tertolong terhindar dari heatstroke serta dijauhkan sifat-sifat mengeluh dari rasa lapar dan dahaga hingga finish tiba.
Akhirnya. Saya finish dengan merentangkan sang merah putih, bendera kebanggaan saya dan lebih dari 250 juta orang sebangsa dan setanah air. INDONESIA. Atas nama anak bangsa yang sudah tertipu oleh website Bangsaen 70.3 ini, saya berharap ada dari sebagian kita yang membuat race di Indonesia khusus untuk para sahabat triathlon di Thailand untuk meningkatkan persaudaraan antar anggota negara ASEAN. Usulan rute : Renangnya di Parang Tritis Jogja, sepeda di tanjakan emen Subang, larinya ke warung Mang Ade-puncak. Sehingga finishnya bisa berakhir di RS Marzuki Mahdi-Bogor. Lalu Kita kasih judul race nya “ Enjoyable race in Indonesia, lebok anyeng..!”.
Kawan, beruntungnya race bersama banyak saudara sebangsa dan setanah air, kita diberikan berkah untuk menjalin persatuan Indonesia dalam bentuk nyata. Kita saling memberikan semangat dengan saling bertegur sapa dan saling mencela. Di sepanjang rute saya bertemu dengan Om Senjaya pemimpin spiritual Fake Tri, Teh Thya Girindra dari Bintaro yang dimana sebagai laki-laki murah hati saya harus mempersilahkan beliau lari duluan tanpa bisa saya kejar. Saya juga bertemu dengan teman-teman alumni minitri Tribuds yang jika bertemu seringnya sedang tidak pakai celana dalam seperti : Kang Yudi dari Burner, Sendi Putra dan Toni Lim dari UI tri, Yusuf Cupe G10tri, Lala Zain dari Canitri, Aidil Akbar dari Gotri, karena bertemu mereka selalu pas race pake triathlon-suit. Karena memakai celana dalam bersamaan dengan trisuit sungguh suatu pekerjaan yang berlebihan. Kami memiliki keyakinan yang sama bahwa ikut race triathlon adalah untuk hidup sehat namun tidak untuk tujuan awet muda. Karena awet muda hanya milik Sofia Latjuba dan model kaleng Kong Ghuan. Kenapa kaleng Kong Ghuan ujung-ujungnya tumpul, karena jika ujung-ujungnya pinjem ATM ga dibalikin namanya istri sendiri.
-Bersambung-
Rizal Ginanjar
The Cunihin.
Subscribe to:
Posts (Atom)